Modul Kuliah : Kuliah
Dasar Wisatahati / KDW-01
Materi Modul : Kuliah
Tauhid
Judul Materi : Pengaruh kepada
Urusan yang Lain
Seri Materi : Seri 17
dari 41 seri/esai
File Paper: Ada
File Audio Tidak
File Video: Tidak
Tugas: Tidak
Dimarahi Bule
Allah Maha Baik.
Tidak pernah Dia
kecewa.
Dalam satu kesempatan pergi lawatan dakwah ke negeri
Belanda, saya dan beberapa kawan, ada jadwal untuk ketemu dengan satu relasi di
sana. Tempat dan waktu sudah ditetapkan. Sedari pagi kami sudah siap-siap.
Beruntunglah di negeri Belanda itu sistem transportasi sudah baik. Jadi, bisa
terukur.
Pada waktu yang telah ditetapkan, kami sampai di tempat yang
dimaksud. 15 menitan kami tunggu di tempat itu, tapi si Bule ini tidak
nongol-nongol. Kami waktu itu, saling berpandang-pandangan, bertanya-tanya di
hati, katanya orang bule terkenal paling disiplin. Nyatanya ga semua ya.
Buktinya kami-kami yang datang sejak awal, harus menunggu. Sudah lewat 15 menit
pula.
Ga lama, ada seorang Bule, dan ternyata memang dia. Bule ini
datang menghampiri kami, marah-marah. Mukanya serius. Lalu menyebut kira-kira
begini, "Bangsa asia, suka telat!".
Wah, kami tidak terima. Kami sampaikan baik-baik bahwa kami
sudah sampe sedari tadi. "Misternya saja yang telat', begitu salah satu
dari kami tanpa perduli dia ngerti apa engga.
Selidik punya selidik, tempat yang dijadikan point-meeting
itu ada dua. Kami salah identifikasi tempat. Sekian menit kami tidak kunjung
datang, Bule itu curiga kami salah datang. Lalu mencoba mendatangi tempat yang
satunya itu. Dan benar, di sana dia ketemu kami-kami. Tapi tetap saja dia
marah! Kenapa engga teliti. Wuah, padahal ini negerinya dia, dan dia tidak
memberitahu bahwa tempat yang dimaksud itu ada dua serupa.
Tapi ya sudahlah, cerita ini kan bukan ingin menceritakan
siapa yang benar siapa yang salah. Cerita ini hendak memberikan gambaran, bahwa
subhaanallaah, Allah itu benar-benar Maha Baik. Coba kalau Allah itu Pemarah?
Duh, habislah kita. Dalam 5x sehari waktu shalat, seberapa serius kita menjaga
tepat waktu? Seberapa niat kita menjaga waktu? Seberapa kita mementingkan
Allah, lalu menaruh dunia ini di bawah kepentingan pertemuan dengan Allah di
waktu shalat?
Kita aja kalo jadi orang tua, lalu kita panggil anak kita
untuk makan misalnya, lalu dia tidak bergerak, kita jadi marah. Anak kita suruh
mandi, tidak mendengar, idih, kita sebel banget. Lalu kita ini gimana?
***
Kita Marah Diabaikan
Ketika kita membuat
Allah menunggu kita,
bagaimana perasaan
kita?
Biasa-biasa saja? Atau
gelisah?
Masih seputar telat dan tunggu menunggu. Satu waktu, di
antara kita ada yang sebel diabaikan. Jangankan diabaikan. Disuruh menunggu
saja, tidak enak. Ada di antara kita yang bilang begini: Ga enak menunggu
orang. Apalagi kalo yang ditunggu, ga ada khabar berita. Tambah kacau lagi,
kalau yang ditunggu emang udah track recordnya selalu telat. Akan bertambah
sebal lagi, bila persoalannya adalah persoalan yang berat, persoalan yang
penting. Tambah kesel lah lagi kita. Bertambah-tambah kekeselan kita, andai
gara-gara keterlambatan kawan kita ini, kemudian urusan kita yang lain, jadi
berantakan. Tentu sumpah serapah, atau minimal gerutuan dan kekeselan di hati,
menjadi nampak ke wajah kita.
Selanjutnya apa yang terjadi? Selanjutnya yang terjadi adalah
kawan kita tersebut tidak lagi masuk ke dalam daftar hitungan kita. Kita
menjadi hati-hati bila kemudian mengadakan janji dengan dia.
Andai Anda seorang guru, marahlah kita bila kemudian murid
pada telat datangnya. Apalagi kalau yang telat itu banyak, dan datangnya satu
demi satu. Mengganggu pelajaran.
Andai Anda adalah orang yang lebih penting daripada yang
ditunggu, tentu menjadi tidak masalah bila kemudian kita meninggalkan dia, dan
merugilah dia. Tapi tetap saja urusannya teramat menganggu. Kita lalu
menganggap dia sudah membuang waktu kita yang begitu berharga. Padahal kita ini
orang penting, ha, begitulah kita membatin.
Bagaimana dengan Allah? Bagaimana kita selama ini bergaul
dengan Allah?
Inilah salah satu pentingnya kita mempelajari ilmu tauhid,
ilmu mengenal Allah dari pintu shalat.
Shalat adalah pintu pertama amal yang dihisab. Dia jelek,
maka jeleklah seluruh amal dianggapnya. Jika dia bagus, maka baguslah seluruh
amal yang lainnya dianggap. Bahkan, di dalam Islam, tidak dianggap suatu kebaikan
bila seseorang mengerjakannya tapi meninggalkan shalat. Anggaplah dia sering
memberi bantuan dan makanan kepada tetangga. Tapi dia tidak shalat. Maka,
bantuan kepada tetangganya ini tidak bernilai akhirat di mata Allah. Dia hanya
disebut orang yang berbuat baik. Ga adil dong Allah? Ga juga. Di dunia dia
dapat sunnatullah-nya, bahwa siapa yang menanam kebaikan, maka dia akan menuai
kebaikan juga. Namun, jika dia meninggal, maka seluruh kebaikannya itu tidak
bisa menyelamatkan dirinya.
Ada seorang yang sama karyawan, masya Allah, dua jempol dah
kelakuannya. Sangat baik, perhatian, penuh kasih. Kecelakaan dia, hanyalah dia
tidak shalat. Kebaikannya di dunia, sudah Allah aturkan sunnatullah-nya.
hidupnya tenang, badannya sehat, pikirannya fresh terus, dan setiap ia menemui
kesulitan, ia selalu ada jalan keluar. Sayangnya, kebaikan terhadap karyawannya
itu tidak bisa ia bawa mati. Ga ngaruh. Sedang manusia itu ada dosadosa lain.
Termasuk dosa bila tidak bertuhan Allah. Ini kartu mati buat saya. Ga ada tawar
menawar.
Bagaimana jika ada orang yang udah shalat kemudian jadi
tidak baik. Maaf ya, bagi saya ini juga clear. Sudah jelas dia dapat keburukan
dari keburukan yang ia kerjakan. Meskipun ia shalat. Dan orang-orang seperti
ini, bila tidak shalat, akan bertambah-tambah keburukannya.
Ini sekaligus menjadi jawaban sederhana atas perilaku orang
modern yang mengatakan ga perlulah syariat-syariatan, yang penting berbuat
baiknya. Ga perlulah shalat-shalatan. Yang penting berbuat baik. Buat apa juga
shalat jika masih suka nipu. Sama dengan buat apa pake jilbab kalo kelakuannya
konyol.
Loh, saya jawab, bahwa buat apanya iya, tapi shalat dan
pakai jilbab itu juga penting. Konklusinya jangan dibawa kepada pembenaran
lebih baik berbuat baik saja. Insya Allah kita akan seminarkan hal ini di
pertemuan kopi darat ya.
***
Pengaruh kepada Urusan yang Lain
Shalat amat terkait
dengan lain-lain hal di kehidupan ini.
Coba perhatikan kalimat di atas: Akan bertambah sebal lagi, bila persoalannya adalah persoalan yang
berat, persoalan yang penting. Tambah kesel lah lagi kita. Bertambahtambah
kekeselan kita, andai gara-gara keterlambatan kawan kita ini, kemudian urusan
kita yang lain, jadi berantakan. Tentu sumpah serapah, atau minimal gerutuan
dan kekeselan di hati, menjadi nampak ke wajah kita.
Banyak yang tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu? Bahwa
urusan shalat sangat terkait dengan urusan yang lain. Sesiapa yang shalatnya
bagus, maka bagus juga kehidupannya. Sesiapa yang shalatnya lempeng, lurus,
bener, maka demikian jugalah hidupnya. Namun, bila ada seseorang yang kemudian
menemukan hidupnya berantakan, dan dia pun menemukan bahwa shalatnya memang
berantakan, maka demikianlah yang memang bakal terjadi. Shalat, dengan
kualitasnya, sangat berpengaruh di kehidupan kita. Coba aja buktikan. Benahi
shalatnya, maka insya Allah hidup pun akan tertata.
Coba saja abaikan shalat, dijamin, hidup bakal berantakan.
Ada yang ditampakkan ketidakberesan hidupnya, ada yang disembunyikan oleh
Allah. Atau, sesungguhnya bukan disembunyikan, tapi orang tersebut tidak
diberikan kemampuan untuk merasakan ketidakberesannya. Bahasa agama mah, tidak
menyadari. Gitu. Dan ini sama bahayanya dengan tidak mengetahui. Sebab, kalau
telat menyadari atau telat mengetahui, teramat besar kerugiannya.
Para pegawai yang kehidupannya biasa-biasa saja, para
pengusaha yang berjalan di tempat dan cenderung turun, para kuli bangunan yang
statis hidupnya, para pramuniaga dan kasir dan karyawan-karyawan bawah yang
terkunci gajinya hingga berbelas belas tahun, bisa jadi sebab mengabaikan soal
shalat ini. Dan mereka ini terlambat mengetahuinya.
Saya pun termasuk yang telat menyadari perihal shalat ini
berpengaruh pada masa depan saya.
Setelah sekian tahun saya bergelut dengan kesusahan saya,
tahun 2003 saya berkenalan dengan soal kerapihan shalat; entah itu shalat
wajib, maupun shalat sunnah. Bahkan di tahun ini saya mengenal istilah
"mencari solusi di atas sajadah'. Ketika yang lain mengatakan jangan hanya
doa dan shalat, saya malah "dipenjarakan" oleh pengetahuan yang saya
dapat u/ berlama-lama di atas sajadah, dan itu dianggap sebagai
"ikhtiar" juga. Masya Allah. Indah. Yang lain mencari solusi, saya
"ditugaskan" oleh hati dan pikiran saya untuk mencari Allah.
Tahun 2003, banyak ulama, banyak kyai, yang mengingatkan
saya tentang shalat. Alhamdulillah. Dan kelak ini akan berpengaruh pada Yusuf
Mansur dewasa pasca masalah. Tidak sedikit yang memberikan wirid dan zikir,
atau yang biasa disebut "amalan", namun tidak mengoreksi soal shalat
tamu yang datang mengadu ini. Namun saya tahun 2003 itu malah digedor tentang
shalat terus. Datang ke kyai mana saja, seperasaan saya, oleh-olehnya
senantiasa soal shalat.
Mu'allim Syafii Hadzami almarhum, salah satunya. Beliau
ulama betawi yang sangat masyhur. Saya datang kepada beliau. Dan beliau tahu
saya buyutnya Kyai besar: KH. Muhammad Mansur Jembatan Lima. Sebab beliau
menjadikan buyut saya ini sebagai salah satu guru yang ditulis di dalam sejarah
hidupnya. Sama dengan Abah Anom yang juga mengakui buyut saya ini sebagai guru
pribadinya. Namun, ini tidak menghalangi Mu'allim Syafii Hadzami bertanya:
"Shalatnya bagaimana?"
Singkat cerita, saya berkernyit juga awalnya ditanya tentang
shalat. Jawaban saya, adalah jawaban kebanyakan. Kira-kira saya menjawab,
"Shalatlah. Biar gini-gini, sama shalat engga lupa. Sepusing-pusingnya,
tetap shalat."
Rupanya jawaban ini tidak memuaskannya. Sebab ketika beliau
kejar dengan pertanyaanpertanyaan lanjutan, didapatlah saya shalatnya sering
telat. Malah bahasa tepatnya: biasa telat. Baginya, dan bagi kyai-kyai yang
tinggi tauhidnya, telat itu sama saja dengan tidak mengenal Allah dan tidak
mengistimewakan-Nya. Kita sudah membahasnya sedikit di beberapa esai kemaren
bagaimana rupanya bila kita telat shalatnya.
Keluarlah kemudian nasihat yang kemudian saya populerkan,
"Benerin sajadah, insya Allah hidup akan jadi bener. Lempengin sajadah,
insya Allah hidup akan lempeng. Solusi dicari, jalan-jalan hidup dicari, shalat
engga dibenahin. Terbalik." Dan saat itu, ungkapan orangorang tua dulu,
seakan hidup lagi di hati saya: "Benahin akhiratnya, ntar dunia ngikut.
Lupain akhirat, ntar dunia malah ga kebagian.”
Saya pun bahkan ditegur soal shalat sunnah ketika saya
diketahui tidak rajin shalat sunnah (untuk tidak menyebut meninggalkan shalat
sunnah). Ya, semakin saya keturunan kyai, mestinya makin tidak pantes shalat
saya di bawah mutu. Sebenernya, siapapun ga pantes shalatnya rusak. Namun,
ukurannya karena saya dibesarkan di lingkungan kyai, kenapa juga shalat saya ga
bener. Begitu.
Terhadap shalat sunnah, selama ini yang saya pelajari sebelumnya,
kalau kita kerjakan kita dapat pahala, tapi kalau kita tidak kerjakan maka
tidak akan dapat dosa apa-apa. Ternyata saya salah. Saya lalu dihadapkan pada
satu teori: bagaimana kalau disebut tidak menghidupkan sunnah? Bagaimana kalau
disebut shalatnya tidak mi'raj? Tidak naik kepada Allah, bila dikerjakan tanpa
sunnah? Saya pun dihadapkan pada pemikiran lain berdasarkan firman Allah bahwa
sesiapa yang mengaku mencintai Allah, kudu ikut sama Rasulullah. Lalu bagaimana
mungkin kemudian disebut mengikuti rasulullah bila kemudian tidak berusaha
mengikuti sunnah-sunnahnya? Sehingga bagaimana mungkin juga disebut mencintai
Allah jika kemudian kita tiada menegakkan sunnah-sunnah Rasul-Nya yang
karenanya kemudian dianggap cinta kepada Allah itu belumlah sempurna.
Seperasaan saya, di tahun 2003 itu saya berkenalan ulang
dengan ayat-ayat dan hadits-hadits tentang shalat. Karenanya saya kemudian
membuat Kuliah Dasar yang membahas tentang shalat di satu kelompok esai khusus
tentang shalat. Saking pentingnya.
Jauh-jauh saya belajar. Tinggi-tinggi saya belajar. Akhirnya
ketika saya jatuh, susah, yang ditanya tentang shalat wajib dan diperiksa pula
shalat-shalat sunnah saya. Ga ditanya saya S2 di mana? Ga ditanya bagaimana
manajemen bisnis saya? Ga ditanya. Yang ditanya, bagaimana shalatnya? Cukup itu
sebagai indikator kejatuhan dan kejayaan kembali.
Maka di perjalanan berikutnya, perjalana tauhid buat saya.
Buku Mencari Tuhan Yang Hilang kemudian lebih membumi. Sebab pencariannya lewat
pintu yang kali ini sudah benar. Insya Allah. Yaitu lewat pintu shalat dulu,
baru kemudian bercabang ke pintu-pintu yang lain.
Ada satu cerita yang saya geli bener dibuatnya. Saya
ditanya, burung apa yang punya sayap tapi ga terbang? Saya jawab, burung onta.
Salah, begitu kata ulama yang saya temui. Burung yang ga terbang padahal burung
sayap disebutnya burung bodoh. Dia tidak tahu dia punya sayap.
Saya ditanya lagi, kalau burung yang tidak terbang padahal
dia tahu bahwa dia punya sayap? Kali ini saya tidak jawab. "Burung
males", katanya. Udah tahu punya sayap, kenapa dia tidak pakai buat
terbang!
Nah, shalat sunnah itu ibarat sayap burung bagi shalat
wajib. Ash-sholaatu mi'roojul mu'miniin; shalat itu mi'rajnya seseorang yang
beriman. Tapi kemudian shalatnya tidak naik, tidak mi'raj, sebab ga punya
sayap. Ga dipake itu shalat-shalat sunnah. Sehingga wajar kemudian ada banyak
orang yang shalat, tapi kehidupannya ga berubah. Sebab ga cukup kuat buat mengangkat
derajatnya.
Masya Allah.
Waba'du, pelajaran ini sungguh sangat mendalam buat saya.
Sebab 3 tahun setelahnya saya memperbaiki shalat saya (Ya Allah, Engkau Yang
Maha Mengetahui Lintasan Hati Hamba saat bercerita ini), hutang saya lunas.
Hidup saya pun meningkat. Allah hadir dalam kehidupan saya, sebab pintu-Nya
sudah saya buka. Pintu apa? Pintu shalat. Sudah disebut di esai terdahulu, likulli syai-in baabun, wa baabut taqorrub
ilallaahi ash sholaah; segala sesuatu itu punya pintu. Dan pintu pertama untuk
mengenal Allah pertama kalinya adalah shalat.
Saya sebut di atas, kelak, ini juga sangat berpengaruh buat
saya. Di antaranya untuk soal konselingan. Orang mengenal saya sebagai
penganjur sedekah. Padahal aslinya, saya lebih senang menganjurkan perihal perbaikan
shalat wajib dan penegakan shalat sunnah. Khususnya di awal-awal perbaikan
seseorang.
Malah kadang saya suka iseng. Ada anak muda datang kepada
saya. Ditenteng oleh ibunya. Disebut bahwa anaknya ini udah kawin. Udah 32
tahun umurnya. Tapi ga kerja. Anaknya nolak disebut ga kerja. Kata anaknya, ga
sesuai dengan kuliahnya. Selanjutnya itu anak dan ibu bercerita masing-masing
versinya.
Saya kemudian mengambil kertas dan menuliskan sesuatu di
kertas itu, sambil berpesan bahwa lakukan apa yang ditulis di kertas ini.
Sebelumnya saya guide, bahwa tidak boleh dilihat ini kertas kecuali sampe
rumah. Dan sebelumnya saya tanya kepada dia sebelum saya tulis sesuatu itu.
Pertanyaan yang saya tanyakan adalah pertanyaan yang ditanyakan kepada saya
dulu. "Bagaimana shalatnya?". Dijawab oleh anak muda itu, "Iya,
Ustadz". "Iya apa?", kejar saya. Ia menjawab, iya,berantakan, he
he he. Ya udah, saya bilang, pas dah. Ikutin kertas ini, dan pulanglah.
Saudara-saudaraku Peserta KuliahOnline, sering saya sebut
percuma kita belajar tauhid, belajar yang lain-lain di KuliahOnline ini, tapi
shalat kita belum kunjung kita perbaiki. Semangat bertauhid adalah semangat
memperbaiki shalat kita.
Anak muda itu barangkali tidak menduga kalau yang saya tulis
hanya soal shalat; "Jangan tinggal shalat. Dan jangan shalat kecuali
berjamaah. Jangan berjamaah kecuali sama sunnahsunnahnya. Lakukan ini 7hr ke
depan dan kemudian balik lagi ke saya."
Beliau kira-kira datang senen. Dan kemudian rabu nya udah
kembali padahal belum 7 hari. Ternyata beliau cerita, beliau seperti
dihentakkan hatinya. Selama ini ia salah mencari. Ia mencari pekerjaan, tapi
Allah tidak ia cari. Ia ubah haluan, akhirnya ya nyampe. Hari selasa, alias
hanya selang satu hari, ia sudah mendapatkan pekerjaan.
Ya, barangkali Allah berkenan datang secepat itu sebab ia
juga punya ibu yang sayang dan perhatian. Melihat dandanan ibunya dan cara
ibunya menenteng dia ke saya, bolehlah saya mengira bahwa ibu ini pasti
mendoakan terus anaknya. Dan seutama-utama doa adalah yang dipanjatkan setelah
shalat wajib. Subhaanallaah.
Besok kita bercerita-cerita ya, tentang orang-orang yang
bersentuhan dengan urusan berkah dari perbaikan shalat. Insya Allah. Terakhir
mau saya katakan, tidaklah disebut bagus tauhidnya, bila kemudian soal
shalatnya rusak. Mudah-mudahan Allah senantiasa memperbaiki amaliyah harian
kita, khususnya shalat kita.
No comments:
Post a Comment