Modul Kuliah : Kuliah
Dasar Wisatahati / KDW-01
Materi Modul : Kuliah
Tauhid
Judul Materi : Sebuah
Keutamaan
Seri Materi : Seri 21 dari
41 seri/esai
File Paper: Ada
File Audio Tidak
File Video: Tidak
Tugas: Tidak
Sebuah Keutamaan
Ibadah adalah salah
satu ikhtiar mendapatkan dunia.
Saya masih tertarik untuk membahas tentang "menempuh
jalan ibadah sebagai sebuah keutamaan".
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak sedikit orang yang
menyalahkan orang lain yang beribadah sebagai jalan ikhtiar mencari dunia-Nya
Allah. Saya lebih menyebutnya sebagai "sebuah keutamaan".
Ya, mencari dunia dengan jalan beribadah adalah sebuah
keutamaan.
Mengapa demikian?
Sebab bukankah mengikuti anjuran Allah dan Rasul-Nya adalah
juga ibadah? Dunia adalah milik Allah. Ketika Allah memerintahkan kita begini
dan begitu ketika kita mencari dunia milik-Nya, maka ini menjadi sebuah ibadah
yang sangat hebat. Di samping tentu menjadi sebuah wujud iman dan keyakinan
kepada-Nya. Itu'kan sebutan betawinya nurut, atau percaya.
Saudaraku, terhadap dokter saja, keyakinan kita bukan main
hebatnya. Ketika seorang dokter mengatakan, "Anda harus dioperasi
segera... dalam hitungan 24 jam!" Wah, kita akan terbirit-birit
mengiyakan. Andai kita tidak ada uang pun kita akan mengusahakan setengah mati,
pinjam sana pinjam sini. Kalau perlu, kita tinggalkan rumah kita, kita
korbankan kendaraan kita untuk mendapatkan uang buat operasi.
Ada ahli desain interior. Dia berkunjung ke rumah kita. Lalu
memberikan advisnya tentang tata ruang yang lebih membuat sirkulasi udara rumah
kita menjadi lebih bagus, maka insya Allah kita akan mengubah tata letak rumah
kita tersebut andai memang kita ada uang. Atau malah jangan-jangan kepikiran
terus untuk sesegera mungkin menjalankan advis sang desainer interior tersebut.
Terhadap saran manusia, terhadap nasihat manusia, kita bak... bik... buk... memikirkan dan
mengikutinya. Mengapa terhadap nasihat Allah dan Rasul-Nya tidak kita ikuti?
Apakah karena kita tidak percaya kepada Allah dan Rasul-Nya? Atau jangan-jangan
kita terjebak kepada kesungkanan atau makna keikhlasan yang barangkali perlu
dikoreksi? Sehingga ibadah kita tidak bertenaga? Tidak memiliki spirit? Sebab
bisa jadi bayang-bayang tidak boleh beribadah karena meminta sesuatu dari
Allah; entah itu dunia-Nya, berharap solusi dari-Nya, menjadikan kita seperti
setengah-setengah beribadah. Bukan karena penuh pengharapan kepada-Nya, atas janji-janji-Nya
sendiri.
Macam gini, Allah
menyebut bahwa jalan tahajjud akan membuat hidup seseorang berubah menjadi
lebih baik lagi. Bila dilakukan terus-menerus akan membuat seseorang naik terus
derajat dan kemuliaannya. Lalu, ada seseorang yang melakukan tahajjud sebab
percaya akan firman-firman Allah dan hadits-hadits Rasul seputar tahajjud ini,
dan kemudian menyandarkan harapan hanya pada-Nya -sekali lagi, hanya pada-Nya-,
apakah ini salah? Lebih utama mana dengan yang tidak mengerjakannya? Atau lebih
utama mana dengan yang mengerjakannya tanpa berharap kepada-Nya? Apalagi kalau
kita sepakat bahwa meminta kepada Allah pun merupakan ibadah tersendiri?
Tahajjud ya ibadah... dan meminta (do'a) adalah juga ibadah. Maka bila
seseorang melakukan tahajjud dan juga berdo'a kepada Allah, bukankah dia malah
dapat dua keutamaan?
Terus lagi, Rasul misal pernah bilang juga begini, "Kalau mau dibantu Allah, bantulah
sesama." Lalu, seseorang yang menghendaki pertolongan Allah bergegas
menyambut seruan ini untuk benar-benar berharap turunnya pertolongan Allah
baginya. Apakah ini salah? Tega bener
kalo salah mah.
Saudaraku, ayo! Beranilah meminta. Kalimat bahwa beribadah
sama Allah, beribadah saja, jangan minta-minta sama Allah, harus ikhlas, ini
menurut saya perlu dilakukan lagi penelitian mendalam. Kasihan orang yang butuh
pertolongan Allah yang menempuh jalan ibadah dan jalan-jalan yang diseru-Nya.
Mohon do'a agar Allah memberikan bimbingan kebenaran
dari-Nya. Dan juga mohon koreksi apabila ada pembaca yang lebih arif, lebih
alim, dan lebih mengetahui tentang hal-hal apa yang saya tulis. Andai ada
kebenaran, datangnya dari Allah. Apabila ada kesalahan, itulah saya, Yusuf
Mansur, yang memang begitu banyak kekurangannya. Kepada Allah semua kita
kembalikan.
***
Ilmu akan Menjaga Amal
Ilmu membawa kepada
keyakinan. Keyakinan membawa kepada amal. Amal membawa kepada keberuntungan.
Ada tiga keyakinan: ilmul
yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin. Ilmul yaqin adalah keyakinan
berdasarkan ilmu. Saya mengajarkan hikmah kepada diri saya, kepada keluarga
saya, kepada jamaah saya, bahwa sedekah bisa begini dan sedekah bisa begitu.
Lalu saya dan di antara yang diseru, bersedekah/melakukan sedekah. Inilah salah
satu bentuk ilmul yaqin, keyakinan berdasarkan ilmu. Dengan ilmunya saya lalu
terdorong kuat untuk beramal. Dari ilmul yaqin tersebut, kemudian ada satu dua
yang merasakan manfaat sedekah. Inilah kiranya yang disebut ainul yaqin,
keyakinan berdasarkan mata, berdasarkan pengalaman. Dan ada satu lagi, yaitu
yang namanya haqqul yaqin. Bulat, enggak perlu pengalaman mesti berhasil, mesti
manfaat. Yakin... ya yakin.
Melihat penjelasan awal di atas, nampaknya kehadiran ilmu,
salah satu kepentingannya adalah supaya mendorong lahirnya amal. Malah dengan
adanya ilmu, maka amal itu akan menjadi terus terpelihara.
Di buku THE MIRACLE ini, saya menyuguhkan banyak kisah yang
menjadi pembelajaran tentang ilmu, keyakinan, amal shaleh, istiqamah, dan
keberkahan.
Kali ini disuguhkan
kisah tentang seorang direksi sebuah perusahaan. Darinya kita bisa belajar
bahwa dengan mengetahui fadhilah sesuatu, ia akan mendorong kita bukan saja
untuk melakukannya, tapi juga untuk memeliharanya.
Suatu ketika dia merasa jenuh bekerja di dunia perhotelan,
jauh sebelum dia menjadi seorang direktur. Dia memutuskan keputusan yang
menurut orang gegabah, yaitu berhenti sebelum punya pekerjaan lain. Ternyata
orang-orang di sekelilingnya, benar. Hingga sekian lama ia tidak kunjung memiliki
pekerjaan. Sampai suatu saat ia mendengar bahwa shalat Dhuha 4 rakaat bisa
membuka pintu rezeki. Bangunlah dia menegakkan shalat Dhuha ini, 4 rakaat,
terdiri dari dua rakaat-dua rakaat. Ajaib! Tidak berapa lama pekerjaan dia
dapatkan. Tapi apa yang terjadi? Ilmunya tentang shalat Dhuha, pengetahuannya
tentang shalat Dhuha, tidak mampu membuatnya mengistiqamahkan shalat Dhuha ini.
Ia berhenti shalat Dhuha, dan berhenti pula ia dari pekerjaannya setelah ia
menghentikan dhuhanya itu.
Dia kemudian shalat Dhuha lagi, 4 rakaat, dua-dua rakaat,
atau dua salam. Kejadian berulang, ia mendapat pekerjaan lain. Tapi lagi-lagi
shalat Dhuhanya berhenti. Anehnya, berhenti juga ia punya pekerjaan. Kejadian
ini berulang beberapa kali hingga Allah memberikan hidayah buatnya untuk tetap
menjaga shalat Dhuhanya.
Dalam satu kesempatan audiensi dengan saya, direktur ini
mengakui bahwa suatu saat ia berpikir, "Jangan-jangan benar, bahwa wasilah
shalat Dhuhanya, pintu rezeki berupa pekerjaan terbuka untuk saya. Dan ketika shalat
Dhuha ini saya tinggalkan, tertutup lagi pintu rezeki yang terbuka itu."
Dari Rasulullah Saw, Allah Swt berfirman, “Wahai anak Adam, shalatlah untuk-Ku empat
rakaat di awal siang (dhuha), maka akan Aku cukupkan bagimu siangmu."
(HR. Tirmidzi)
***
Berasa; Bedanya Beramal dengan Ilmu
dan tanpa Ilmu
Mereka yang beramal
dengan ilmu,
akan mendapat
perbedaan beberapa derajat.
Sempat dinaikkan di esai KuliahOnline, cerita tentang
seorang pegawai yang makan siang usai shalat Jumat. Ketika dia lagi makan,
datang kawannya menemani satu meja. Ia pun turut makan. Ketika mau bayar, dia
ditahan oleh kawannya ini, "Biar aku saja yang bayar", katanya.
Jadilah ia dibayarkan makanannya itu. Hitung punya hitung, makanannya itu 10
ribu.
Apakah peristiwa itu peristiwa biasa?
Iya, kalau melihat dari kacamata tanpa ilmu. Kita anggap itu
adalah peristiwa biasa, peristiwa sehari-hari. Tapi andai dia mengetahui
sedikit saja tentang fadhilah amal, subhanallah,
dia akan berdecak kagum. Bukan tidak mungkin, dia, bila terus meningkatkan ilmu
dan kepahamannya, akan meningkatkan juga amalnya.
Memangnya ada apa?
Rupanya ketika shalat Jumat, dia bersedekah seribu rupiah.
Loh, hubungannya
apa dengan makan siangnya?
Ada! Bukankah Allah menjanjikan balasan 10 kali lipat? Dan
di beberapa hadits kita menemukan bahwa Allah berkehendak juga membayar sedekah
seseorang dengan tunai, ajjaltu lahu fil
`aajil. Dibayar kontan. Nah,
itulah bayaran kontannya. Cuma, kalo enggak tahu, dianggapnya itu peristiwa
biasa saja. Bukan hadiah dari Allah sebab amalnya.
Menarik enggak?
Tergantung. Kalau saya yang jadi dia, harusnya ini menjadi
"brosur yang tidak terlihat" untuk percaya lebih lagi akan janji-Nya
dan memperbaiki amal.
Andai ya, andai... orang ini ternyata membawa 100 ribu,
alias ada pecahan 100 ribu, selain pecahan seribu, maka ketika "new experiental learning" didapat
dan disadari, tentu ia akan "menyesal" dan "berjanji" akan
memperbaiki serta mengubah kualitas amalnya. Saya memberi tanda kutip, sebab
kebanyakan memang manusia cuma bisa berjanji, he...he...he... tidak
mempraktekkan langsung. Harusnya'kan praktekkan saja langsung. Ya, mestinya
langsung dong dia sedekah 100 ribu.
Tapi sayang, kebanyakan orang tidak berilmu. Sekalinya ada
yang berilmu, tidak berani menyandarkan ilmunya ini menjadi sebuah keyakinan,
bahwa peristiwa itu terjadi pastilah ada hubungannya dengan sedekah di saat
shalat Jumat.
Tampaklah di sini bedanya antara orang yang beramal dengan
ilmu dan tanpa ilmu. Saya insya Allah meyakini, mengapa pula beda derajatnya,
sebab memang amalannya beda. Seseorang yang berilmu, akan beramal dengan
ilmunya itu. Sehingga ada keyakinan dan harapan. Bukankah keyakinan dan harapan
juga adalah sebuah kelezatan ibadah tersendiri?
Di dalam kehidupan nyata, katakanlah kita bekerja, maka akan
terasa beda'kan, andai, kita tahu hasilnya? Ketika kita tahu bahwa pekerjaan
kita akan menguntungkan, kita bersemangat. Dan bukanlah kesalahan memotivasi
diri dengan hal-hal yang halal yang menjadi hak kita. Membuat kita lebih
bersemangat dan berkreasi.
Mengetahui fadhilah/keutamaan ibadah juga merupakan suatu
ilmu. Mengetahuinya saja sudah merupakan ibadah. Dan mencari ilmu juga suatu
ibadah. Lekas ia akan berpengaruh buat langkah dan hasil langkah kita.
"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
(QS. al-Mujaadilah:
11)
***
Karena Ilmu dan Keyakinan
Ada seseorang yang
butuh kejadian sesuatu, yang kemudian mengantarkannya kepada Allah. Ada juga
yang cukup dengan ilmu dan keyakinan yang mendorongnya beribadah, tunduk dan
patuh kepada Allah. Dua-duanya istimewa. Yang salah adalah yang tidak
bergeming, tidak beribadah; baik dengan ilmunya, maupun pengalamannya.
Berikutnya, kisah seorang yang melakukan ibadah, sebab
didahului oleh ilmu dan keyakinan.
Adalah Iwan, sebut begitu, seorang karyawan di sebuah
perusahaan otomotif. Ia mendengar kuliah dhuha pagi itu di kantornya, bahwa
shalat Dhuha 6 rakaat punya fadhilah, "Allah
akan mencukupkan rezekinya."
Saya yang menjadi guru tetap di pengajian bulanan tersebut
bertutur kira-kira begini, "Kalo kita percaya sama Allah, kita kudu
percaya akan petunjuk-Nya. Salah satunya ketika Allah dan Rasul-Nya bicara
tentang petunjuk bagaimana mencari rezeki. Dalam banyak bab "Mencari
Rezeki", salah satu yang dijadikan jalan pembuka pintu rezeki adalah
shalat Dhuha. Allah bilang lewat Rasul-Nya dalam sebuah hadits qudsi:
Dari Rasulullah Saw, Allah Swt berfirman, “Wahai anak Adam, shalatlah
untuk-Ku empat rakaat di awal siang (dhuha), maka akan Aku cukupkan bagimu
siangmu."
(HR. Tirmidzi)
Begitulah saya memotivasi para mustami' (pendengar majelisnya) agar mereka mau berkenan shalat
Dhuha.
Saya yang menyodorkan janji Allah dan Rasul-Nya sebagai
dorongan beribadah mengatakan, bahwa tidak usah takut mengerjakan shalat Dhuha
lantaran janji dan dorongan Allah dan Rasul-Nya ini. Inilah yang disebut
KEUTAMAAN. Bukankah orang yang percaya sama Allah dan Rasul-Nya disebut orang
yang beriman? Sedangkan iman itu apa sih? Iman itu'kan percaya. Maka ketika
Allah dan Rasul-Nya menyeru dengan memberi dorongan sejumlah keutamaannya, maka
inilah kiranya kebaikan Allah dan Rasul-Nya dan kebaikan seseorang yang beriman
yang percaya sama kalam Allah dan Rasul-Nya.
Berkaitan dengan shalat Dhuha, di dalam majelis di kantor
tersebut, saya kemudian mengatakan ini, bahwa ketika seseorang shalat Dhuha 6
rakaat, Allah punya kalam lain,
"Siapa yang shalat Dhuha 6 rakaat, Allah akan mencukupkan
kebutuhannya hari itu."
Selanjutnya saya memotivasi, "Jika di antara saudara
yang hadir di sini percaya, lalu punya kebutuhan, punya hajat, dan dia berkenan
shalat Dhuha 6 rakaat, percayalah insya Allah janji Allah ini benar-benar akan
terwujud."
Alhamdulillah. Di antara jamaah yang hadir, ya Iwan itu.
Iwan mendengar perkataan saya, "Kejar target, kejar
kebutuhan yang diperlukan dengan mendirikan shalat Dhuha 6 rakaat. Sisihkan
waktu. Daripada cape enggak karuan, mending ngorbanin waktu sedikit untuk
mengundang janji Allah terbukti di masalah dan hajat kita."
Rupanya termotivasi betul Iwan mendengar hal demikian. Tidak
sabar ia menunggu waktu pulang. Waktu itu hari Jum'at. Pengajian saya di sana,
saban hari Jum'at pagi keempat tiap bulannya. Ia pengen cepat-cepat pulang.
Pengen mengabarkan kepada istrinya ini. Pengajian tadi seakan menjadi solusi
baginya, yaitu bagi bayangan kesulitan yang sedang ada di depan matanya.
Memangnya apa kesulitannya Iwan ini?
Dua bulan lagi ia punya kebutuhan 7,5 juta untuk biaya studi
tiga anaknya. Sebagai karyawan biasa, angka ini besar sekali buat dia. Apalagi
dia punya satu dua cicilan utang. Tapi ia tadi pagi mendengar saya berkata,
"Dulu, sebelum tahu ilmu dhuha ini, seseorang begitu punya kesulitan,
sudah berancang-ancang mencari bantuan dan pertolongan orang lain. Sekarang,
enggak usah. Cari saja pertolongan lewat sisi Allah ini. Nanti Allah yang
menyediakan jalanjalan-Nya."
Iwan mengamini. Memang begitu. Ia dulu bukan saja sekadar
berancang-ancang mencari bantuan. Tapi ia bahkan sudah berjalan mencari bantuan
itu! Ke sana kemari.
Ketemu enggak?
Enggak!
Makanya, ketika dapat pencerahan pagi itu, ia bahagia
sekali. Ia tahu kesalahannya kini. Ia cari bantuan orang lain tapi tidak
mencari Allah, Pemilik segala bantuan yang diinginkan. Ia tahu kesalahannya.
Langkah ia tetapkan untuk mencapai dan mengejar apa yang menjadi kebutuhannya.
Tapi karena ia mencari tanpa ilmu, tanpa pengetahuan bahwa ada cara mudah dan
cepat, yaitu menyandarkan pada kekuatan Allah, ia punya langkah tak jelas.
Kini, dengan shalat Dhuha ia percaya langkahnya ini menjadi jelas. Sebab jelas
juga yang ia tuju; ridha dan pertolongan Allah melalui shalat Dhuha.
"Katakanlah, `Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya.
Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi.’ Kemudian kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan."
(QS. azZumar: 44)
Subhanallah!
Mudah-mudahan kita berkeyakinan seperti yakinnya Iwan ini.
Sesampainya di rumah, bertuturlah Iwan kepada istrinya
sebagaimana saya bertutur untuk dirinya. Iwan lalu meminta istrinya itu
menemaninya shalat Dhuha. Ia shalat di kantor di selasela kesibukannya.
Istrinya shalat di rumah. Dhuha yang diambilnya 6 rakaat, dengan keyakinan
bahwa inilah cara yang benar yang insya Allah menjadi jalannya menutup 7,5
juta.
Saudaraku, kita coba berhenti sejenak.
Sampe sini, banyak orang yang menyalahkan dengan mengeluarkan
ungkapan, "Shalat Dhuha kok untuk uang...? Untuk kebutuhan...?"
Begitu'kan?
Banyak yang menyalahkan pencari pertolongan Allah lewat
ibadah.
Tapi terserahlah. Masing-masing punya pendapat. Yang
penting, jika saudara hanya berdebat, maka kebesaran Allah tidak akan terjadi.
Silahkan sibuk saja terus berdebat. Tidak usah melakukan.
Akan halnya Iwan, karena ia melakukannya dengan segenap
keyakinan atas informasi (ilmu) yang didapatnya, maka ilmu dan keyakinannya,
bekerja! Keajaiban pertolongan Allah benar-benar terjadi!
Hanya selang dua minggu ia melakukan, jawaban untuk dana
yang ia butuhkan ia dapati. Ya, hanya 2 minggu! Unbelieveable! Iwan lapor
kepada saya di pengajian Jum'at berikutnya, alias di empat pekannya kemudian.
Bahwa ia tidak berhenti sampe di situ. Ia terus meminta istrinya meneruskan
riyadhah lewat shalat Dhuha ini untuk masalahnya yang lain, di luar masalah
yang 7,5 juta untuk anggaran pendidikan anak-anaknya. Hebat! Saya mengatakan
hebat. Banyak orang yang tidak percaya, Iwan percaya. Ketika seseorang
melakukan apa yang diseru Allah dan Rasul-Nya, lalu tatkala Allah membuktikan
kebenaran janji-Nya, orang tersebut berhenti sampai di situ, alias tidak
meneruskan lagi menjadi sebuah pekerjaan yang di-dawam-kan. Sedangkan Iwan? Dia
malah meneruskan.
Hebat! Ya hebat.
Memang apa masalahnya Iwan yang lain? Ada lagi?
Namanya juga manusia. Kalau mau jujur, masalahnya pasti
banyak.
Rupanya Iwan punya utang 50 juta. Ia lumayan pening dengan
urusan ini. Otaknya enggak aja memikirkan yang 50 juta ini. Sebab sebelumnya,
yang 7,5 juta enggak tahu bagaimana ngurusinnya. Karenanya ketika ia berdecak
kagum akan dhuha ini, untuk urusan 7,5 jutanya, ia meneruskan dhuhanya tersebut
untuk urusan 50 jutanya. Ia yakin, kali ini pun ia pasti berhasil. Caranya
sama, Tuhannya sama, masa iya enggak berhasil.
Di depan jamaah lain yang mendengar testimoni Iwan,
lagi-lagi saya mengatakan hebat. "Seseorang yang melakukan tanpa ilmu dan
tanpa keyakinan saja, insya Allah ia akan tetap merasakan fadhilah (keuntungan)
amal, apalagi yang melakukannya sebab ilmu, sebab yakin, dan sebab pengalaman.
Pasti bertambah subhanallah dah," tutur saya menimpali.
Itulah yang memang terjadi. Iwan bercerita, bahwa 50 juta
itu ia dapatkan sebelum genap ia ketemu Jum'at yang keempat. Alias ia
mendapatkan jawaban atas kebutuhannya itu, juga dalam waktu kurang 2 minggu!
Jarak tempuh pencapaian target hanya 2 minggu sejak ia tetapkan dirinya untuk
menempuh jalan shalat Dhuha 6 rakaat.
Untuk yang satu ini, saya memiliki komentar yang menarik.
Kata saya, percepatan itu terjadi sebab Iwan mengerjakannya tidak sendirian,
melainkan bersama-sama istrinya. Ibarat memakai kaki untuk berjalan, Iwan
memakai kaki yang lengkap, kiri dan kanan. Jelas lebih cepat dibandingkan
dengan mereka yang berjalan dengan satu kaki. "Jadi, buat saudara yang
kepengen mencapai target kebutuhan rumah tangga dan usahanya, jangan lakukan
sendirian. Jalankan bersama-sama istri atau suami masing-masing. Kalau perlu,
bersama-sama satu tim, satu divisi, satu kelompok, bersama karyawan, dan
seterusnya. Pokoknya jangan sendirian."
"Buat yang hidupnya memang sendirian gimana
Ustadz?" tanya salah satu jamaah.
"Pikirkan saja cara-cara yang ia bisa melakukannya
bersama yang lain. Misalnya, menjamu kawan kosnya yang beda tempat, sarapan
bersama. Lalu utarakan tentang fadhilah dhuha 6 rakaat, dan kemudian lakukan
bersama-sama. Atau undang anak-anak yatim sekitar yang sekolahnya siang. Jamu
mereka, dan lakukan shalat Dhuha bersama. Insya Allah larinya bakal
cepat."
Tidak lupa saya mengingatkan walau bersama-sama, tapi tetap
dengan niat "sendirisendiri", bukan berjamaah.
Nah, di akhir cerita, Iwan mengaku, "Insya Allah
Ustadz, saya akan tetap menjaga niat, untuk melakukan dhuha bukan karena
masalah dan keinginan, tapi karena Allah semata."
Terhadap kalimat yang kayak begini, Luqman mengoreksi,
"Jangan berkurang keyakinan Wan. Yakini apa yang sudah terjadi sebagai
sebuah kebenaran. Banyak orang yang tidak tahu, Iwan tahu. Banyak orang yang
tidak yakin, Iwan yakin. Banyak orang yang gelap bagaimana menyelesaikan
masalahnya, bagaimana menjawab keinginannya, Iwan mengetahui kunci-kuncinya.
Masa'kan lalu Iwan membungkusnya dengan kalimat "yang benar" tapi
"tidak tepat" seperti itu. Tidak Wan. Tidak ada yang salah dengan
yang Iwan lakukan sehingga Iwan perlu mengatakan bahwa Iwan akan menjaga niat
untuk melakukan hanya karena Allah. Tidak perlu! Itulah kepercayaan orang yang
beriman. Kepercayaannya bekerja. Bekerja menjadi keajaiban. Satu yang Iwan
perlu lakukan adalah tambah rasa syukurnya dengan tetap melakukan ibadah dhuha
6 rakaat tersebut tanpa perlu ada masalah dan keinginan. Sedangkan bila Iwan
ada lagi masalah dan keinginan, maka itulah yang disebut iman, yaitu Iwan
membawanya lagi kepada Allah dengan cara melakukan petunjukNya."
Saudaraku, tulisan bagian ini ditulis dan dimasukkan ke
dalam buku "THE MIRACLE". Di mana di buku ini dikupas secara mendalam
filosofi amal perbuatan yang dilakukan dengan berdasarkan ilmu, keyakinan, dan
pengalaman, hingga kemudian diistiqamahkan atau didawam-kan. Maka ketika
saudara tidak menghentikan riyadhah saudara, maka percayalah, keajaiban akan
terus menerus terjadi! Insya Allah.
Percaya dengan janji
dan kalam Allah dan Rasul-Nya, inilah yang disebut iman yang sempurna. Tambah
sempurna dengan menyempurnakan iman menjadi berwujud amal shaleh.?
***
Banyak yang Tidak Menyadari
Meniti jalan-jalan
yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, itulah jalan-jalan ikhtiar yang
terbaik. Apalagi kalau kemudian bisa lurus dan istiqamah. Dunia akan dibukakan
Allah buat mereka yang mengabdi kepada Allah. Sebab dunia adalah milik-Nya. Dan
Dia akan menguasakan lagi kepada siapa yang Dia kehendaki.
Banyak orang yang tidak menyadari, sebab ilmunya yang
barangkali kurang, bahwa meniti jalan-jalan menuju Allah, itulah jalan ikhtiar
terbaik. Tidak dekat dengan Allah saja diberi-Nya dunia, apalagi dekat dengan
Allah dan mencari jalan-jalan untuk dekat denganNya. Pasti dunia tambah lagi
diberi oleh Allah. Tapi karena kurangnya ilmu, maka ketika jalan sudah
dibukakan Allah, malah Allah lebih sering ditinggal. Atau kalaupun tidak ditinggal,
maka terhadap Allah kita sering juga mengurangi jatah perhatian dan waktu
untukNya. Astaghfirullah, saya
pribadi pun beristighfar karenanya. Apalagi dengan keangkuhannya manusia,
banyak yang tidak mengakui agama sebagai solusi hidupnya. Banyak yang tidak
mengakui ibadah sebagai solusi ikhtiarnya, bukan sekadar pelengkap.
Pernah diceritakan kepada saya, ada perusahaan penyedia jasa
ruangan-ruangan untuk disewakan. Pada satu masa, keuangannya menurun.
Penyewanya sedikit sekali. Ditenggarai, begitu menurut mereka, sebab berdiri
kompetitor tidak jauh dari lokasi gedung mereka. Hingga kemudian karyawannya
membuat pengajian.
Dipanggilnyalah seorang ulama. Pengajian diadakan pagi
menjelang zhuhur. Saat zhuhur tiba, ulama tersebut yang memang masih di sana
saat itu, bertanya di mana di ruang apa kalau mau shalat? Karyawan-karyawan
yang ditanya, gelagapan. Sebab memang
gedung ini tidak menyediakan ruang khusus untuk memuliakan orang-orang yang
shalat.
"Selama ini di mana shalatnya?" tanya ulama
tersebut.
"Di parkiran bawah," jawab karyawan.
Ulama ini ngambek. "Wah, mana bisa maju kalau begini?
Gedung ini memang siapa yang ngasih? Kan Allah. Walaupun kelihatannya yang
bangun adalah manusia. Masa terhadap Allah yang sudah memberikan gedung ini;
baik uang, kesehatan, dan kesempatan, untuk memakai dan menikmati gedung ini,
eh... malah dipinggirkan?"
Ulama ini pulang.
Tertinggallah karyawan terbengong-bengong. Tapi mereka
mengamini. Mulailah mereka melakukan sesuatu. Mereka bersama-sama menghadap
kepada direksi dan menjelaskan peristiwa ini. Alhamdulillah, direksi setuju. Lalu ada ruangan "yang
dikorbankan" untuk menjadi tempat shalat. Maka mulialah orang-orang yang
shalat sebab ruangan shalatnya menjadi layak dan nyaman.
Sejak itu, karyawan gedung tersebut banyak yang merasakan
bahwa tingkat penyewa kembali meninggi.
Tapi apa yang terjadi? Di pers release-nya direksi dan
manajemen, menjelang RUPS, sama sekali tidak disinggung keberhasilan ini adalah
sebab memperhatikan urusan mushalla. Kelihatannya sepele; menyediakan
orang-orang yang shalat tempat yang layak. Tapi yang sepele ini justru yang
diyakini sebagai pembawa kemakmuran dan kejayaan kembali bagi tuh gedung dan
manajemennya. Sayang, kita itu ya begitu. Kurang mengakui, atau mungkin kurang
berani mengakui bahwa sisi spiritual itu yang menjadikan dunia ada di
genggaman. Dipikirnya, urusan spiritual urusan akhirat yang hanya berdimensi
akhirat saja.
Saya mendapat cerita ini, bahwa yang diagung-agungkan
sebagai suatu keberhasilan oleh mereka adalah bahwa manajemen atas melakukan
perubahan manajemen. Banyak tenaga ahli muda yang berpendidikan serta
berpengalaman, masuk, ikut mengendalikan dan memajukan gedung. Karena itulah
gedung ini terang kembali. Sebab lainnya, begitu kata pers release-nya, adalah komitmen direksi dan share holders yang begitu tinggi terhadap penampilan dan perbaikan
fisik. Lalu mereka menyebut keberadaan taman depan yang baru, ditambah dengan
jaket gedung yang memang juga baru yang menambah terang gedung tersebut.
Sama sekali tidak menyebut dengan gagah, "Bahwa
kemajuan ini adalah sebab kami menyediakan tempat shalat yang sangat layak dan
nyaman, padahal sebelumnya kami menempatkan mushalla di lantai parkiran yang
pengap." Tidak ada tuh... tidak disebut.
Saya ketika menerima kisah ini sebagai satu pembelajaran,
sempat sedikit menghibur, "Barangkali mereka tidak mau pamer... nanti
disangka riya."
Yah, barangkali juga.
Tapi, sekarang kalau memang begitu, indikatornya gampang. Di
antaranya:
·
Apakah perbaikan sarana dan prasarana ibadah
menjadi semakin baik?
·
Apakah ada penambahan tenaga khusus untuk
mengelola aset yang disebut sangat berharga itu (kalau memang diaku, tapi tidak
mau diekspos sebab takut riya)?
·
Apakah ada penambahan kegiatan keagamaan
(kegiatan ibadah)?
·
Yang barangkali lebih menohok lagi, apakah
ruangan itu masih dipakai untuk ruangan shalat?
Kelihatannya sinis ya pertanyaannya, tapi wajar ditanyakan.
Sebab maaf, banyak yang kemudian terjadi begini; sebab laku, kemudian direksi
dan manajemen merasa sayang mengorbankan ruangan itu dan mengembalikan ke
posisi semula. Masih bagus kalau kemudian tempat yang disebut mushalla di
parkiran itu diperbaiki, bagaimana kalau tetap seadanya, atau dengan perbaikan
yang setengah hati?
Bila memang itu yang terjadi, maka sebenarnya sama saja
tidak ada pengakuan.
Jujur saja, kita pun suka demikian kok. Sebelum kaya, masya
Allah, rajinnya itu yang namanya shalat-shalat sunnah. Artinya, jangankan yang
wajib, yang sunnah pun dikerjakan habis-habisan. Giliran sukses, giliran kaya,
kita mengorbankan ibadah. Itu'kan menjadi terbalik. Alias jangankan yang
sunnah, yang wajib pun keteteran.
Ini'kan sama saja dengan kalimat, "Apakah manajemen
gedung itu kemudian mengorbankan ruangan yang sudah membawa mereka kepada
kejayaan, ataukah malah memperluas dan menambah nyaman ruangan tersebut?"
Inilah di antara sebab orang kemudian berkata, "Makanya
jangan shalat karena masalah atau hajat. Sebab nanti shalatnya kendor setelah
masalah dan hajat tercapai."
Padahal, jika seseorang "menghentikan" shalatnya
atau "mengendorkan" shalatnya, maka sebutannya adalah "kufur
nikmat". Jangan kemudian menyalahkan niat.
Ini pula yang mengakibatkan seseorang barangkali mengatakan
"kudu ikhlas dalam sedekah (ibadah)". Sebab dikhawatirkan sedekahnya
takutnya hanya untuk tujuan-tujuan dunia. Padahal, sekali lagi, sedekah untuk
tujuan-tujuan dunia adalah dibenarkan. Karena menjadi cara yang ditunjukkan
Allah. Sedang sesuatu yang ditunjukkan Allah pun, itu ada keridhaan-Nya di
dalamnya. Wallahu a'lam.
No comments:
Post a Comment