Modul Kuliah : Kuliah
Dasar Wisatahati / KDW-01
Materi Modul : Kuliah
Tauhid
Judul Materi : Jadi
Ikhlas Ngejalanin Hidup
Seri Materi : Seri 24
dari 41 seri/esai
File Paper: Ada
File Audio Tidak
File Video: Tidak
Tugas: Tidak
Jadi ikhlas Ngejalanin Hidup
Di tengah kesulitan kita, selalu terselip Pertolongan Allah.
Di tengah kesulitan kita, selalu terselip Kemurahan Allah.
Dan bila kita sepakat, insya Allah bahkan kesulitan itulah anugerah
Allah buat kita semua.
Perjalanan waktu akan membuktikan itu.
Andai kita lalui semua ragam kesulitan itu bersama Allah.
Saya termasuk yang percaya sedari awal, bahwa kalau kita mau
berpikir tentang Kemurahan Allah, maka bener-bener Allah itu Maha Pemurah. Di
tengah kesulitan kita, selalu terselip Pertolongan-Nya dan Kemurahan-Nya.
Sedikit berbagi. Ketika saya berada di pusaran kesulitan,
Allah menganugerahkan saya kemampuan untuk menggoretkan ceritera kesulitan itu.
Subhaanallaah, ia kemudian menjadi salah satu cahya bagi kehidupan saya. Saya
akhirnya bisa menulis, dan tulisan itu pun akhirnya menjadi buku. Terbit dengan
judul: Wisatahati Mencari Tuhan Yang Hilang. Agaknya, andai saya tidak
mengalami kesusahan hidup, niscaya buku ini tidak lahir. Ketika itu saya merasa
putus asa. Saya butuh teman. Akhirnya saya ambil pena dan kertas. Benar-benar
pena dan kertas. Oldies banget. Sebab emang ga ada fasilitas. Saat itu saya
terpenjara dengan sel dunia. Ruang seukuran kurang lebih 2x3 menjadi kamar saya
yang bagus untuk banyak merenung dan menulis hasil perenungan. Semula ia sebagai
kawan saya. Akhirnya ia menjadi kawan banyak orang setelah jadi sebuah buku.
Kebiasaan menulis ini di kemudian hari yang mengantarkan saya menulis buku-buku
yang lainnya (lihat galeri, web admin). Hingga kemudian saya bisa menulis
KuliahOnline ini.
Dan kebiasaan menulis ini bukan satu-satunya anugerah Allah
yang Allah berikan bersama kesulitan. Sekali lagi, kalimat yang saya garis
bawahi, dilihat ulang, dibaca ulang. Saya mengatakan "bersama
kesulitan", sebab memang nyatanya gara-gara mata kita yang butalah yang
tidak bisa melihat Karunia Allah. Semua adalah Kehendak-Nya. Dan tidak ada
Kehendak-Nya kecuali kehendak itu adalah kehendak yang baik-baik. Tidak pernah
kehendak itu menjadi buruk hingga kemudian kita yang mewujudkannya menjadi
buruk. Tidak pernah. Maka nya ketika di kemudian waktu saya menyadari bahwa
akhirnya kesulitan itu mengantarkan saya menjadi "bisa menulis",
inilah yang saya anggap anugerah itu. Anugerah yang Allah berikan bersamaan
datangnya dengan kesulitan yang Dia izinkan mampir di kehidupan saya. Saya
percaya, peserta KuliahOnline juga banyak yang mengalami anugerah-anugerah
seperti ini. Kesulitan akhirnya menjadi rahmat. Disebut bukan satu-satunya,
sebab buanyak sekali. Saya bisa sebut beberapa, sekedar untuk tahadduts
bin-ni'mah: Buku-buku saya membawa saya menjadi ustadz. Berawal dari
orang-orang meminta saya bercerita isi buku (bedah buku), dan
pengajian-pengajian kecil, akhirnya kemudian orang-orang mengenal saya sebagai
ustadz. Sebagai da'i. Saya pun mencatat bahwa sejarah saya menghafal al Qur'an
adalah sebab saya terpenjara. Rasanya, kalo saya tidak dipenjara, tidak akan
ada itu cerita menghafalkan al Qur'an. Dan di kemudian hari, lahirlah Daarul
Qur'an dan PPPA Daarul Qur'an. Daarul Qur'an adalah sebuah nama yang saya
berikan untuk institusi pesantren penghafal al Qur'an. Dan PPPA adalah suatu
program donasi untuk pembibitan penghafal al Qur'an. Dan tentu saja beragam
nikmat lain yang sangat-sangat tidak bisa saya sebut satu per satu; Saya
menikah, ketemu dengan Maemunah, pun sebab berkah berada di dalam kesulitan.
Ah, rasanya, tidak pantas saya menjadi yang tidak bersyukur. Bila ada yang
mengatakan, ah, itu kan si Yusuf Mansur. Pantes aja. Sebab dia kan pinter. Dia
kan `alim. Dia kan turunan guru (sebutan untuk seorang Kyai, web admin). Dia
kan lahir dan besar di madrasah.
Bisa ya, bisa tidak. Dikatakan ya, sebab saya juga
menganalisis bahwa banyak piutang orang-orang tua saya, keluarga saya,
guru-guru saya, di diri saya. Mereka rajin dan tulus mendoakan saya. Mereka
insya Allah penuh mengharap saya selamat dan bisa menyelesaikan semua
urusan-urusan saya, menjadi saleh, dan bisa dibanggakan keluarga. Dikatakan
juga ya, bahwa keluarga dan turunan bisa berpengaruh, sebab amal ibadah yang
dilakukan oleh orang-orang tua kita, dan saudara-saudara kita, khususnya yang
serumah, memang insya Allah bisa ter-share itu cahya amal ibadahnya ke saya.
Sebagaimana saya pernah sampaikan, bahwa kadang ada seorang anak yang dengan
mudahnya mendapatkan pekerjaan. Padahal selama kuliah, ia tiada menegakkan
shalat. Ternyata, pertimbangan Allah, adalah ibadah ayah ibunya. Barangkali ini
anak menyimpan sepasang orang tua yang masya Allah, rajin benar mendoakan anaknya
ini. Maka kemudian turunlah Keputusan Allah, bahwa anak ini mendapatkan
pekerjaan. Tapi bukan karena dirinya, melainkan karena doa ayah ibunya. Atau
ada seorang suami yang banyak benar maksiatnya. Tapi kemudian ia tetap banyak
mendapatkan berkah Allah. Ternyata si suami ini menyimpan istri yang sering
merintih di hadapan Tuhannya, berdoa dengan tulus agar Allah jangan menghukum
suaminya, dan menyayangi suaminya. Allah barangkali berkenan menjabah doa-doa
yang begini ini.
Maka itu saya katakan, saya tidak menafikan peran
"nasab". Peran turunan. Tahadduts bin-ni'mah, saya lahir dari
keturunan seorang kyai. Begitulah dongeng tentang Yusuf Mansur bermula. Menurut
riwayat, ayah saya, Abdurrahman Mimbar, lahir dari garis seorang ulama di
Kaliungu, KH. Zahid Mimbar, dan berlatar belakang keluarga pesantren. Satu
tahun yang lalu saya pernah berkunjung ke keluarga pesantren Kaliungu. Ada
pesantren besar, salaf, PIK namanya di sana. Masya Allah, ribuan santrinya.
Dari garis ibu, pun lahir dari garis keturunan KHM. Mansur. Seorang ulama
betawi tempo doeloe. Namanya dijadikan nama jalan sepanjang jalan Jembatan
Lima, membentang di antara Roxy mengarah ke Stasiun Beos, Kota. Sedari lahir,
saya sudah berada di tengah-tengah madrasah terkenal di kalangan betawi;
Madrasah al Mansuriyah, Jembatan Lima Jakarta Barat. Ayah kandung saya bercerai
dengan ibu saya ketika saya masih di dalam kandungan. Ketika saya lahir, saya
diasuh oleh paman saya, KH. Sanusi Hasan. Seorang hafidz al Qur'an dan seorang
penulis di berbagai majalah dan koran Islam saat itu. Beliau pegawai negeri
(Depag) yang sangat-sangat jujur. Tercatat dua kali diamanahkan sebagai Pimpro
Pengadaan al Qur'an dan ta'mir Masjid Istiqlal. Agaknya, perjalanan jalan hidup
saya sekarang-sekarang ini banyak berpengaruh dari rizki halal yang saya makan
dari beliau. Saya kemudian menjadi penghafal al Qur'an, banyak mengelola al
Qur'an, senang di masjid, dan kemudian menjadi penulis. Banyak sifat-sifat
beliau yang saya rasakan menurun ke saya. Di usia saya 5 tahun, ibu saya menikah
lagi. Lagi-lagi dengan orang saleh nan penyabar. Ayah tiri saya, Hermawan, juga
pegawai negeri yang teramat jujur dan penyabar. Sama seperti paman saya, ayah
tiri saya hidup sangat-sangat sederhana. Alhamdulillah, saya dapat tambahan
rizki dan pengasuhan dari kedua orang ini. Hidup saya lebih banyak dihabiskan
di madrasah, di pengajian, dan di masjid. Kelak, saya merasakan keberkahan ini
semua.
Tapi masya Allah. Di saat yang sama, saya pun mengaminkan,
bahwa semua yang disebut di atas, percuma. Malah tambah memberatkan saya.
cerita di atas, biar ditambah dengan satu fakta, bahwa saya pun mendapatkan
didikan agama sampe perguruan tinggi, boleh dikata, agak-agak "gak
laku" ketika dibenturkan dengan masalah-masalah saya. Dengan status saya
sebagai keturunan orang baikbaik, dan malah keturunan ulama, malah membuat saya
makin terpojok. Semakin orang sinis, semakin orang memandang rendah saya.
"Ga pantes dia mah jadi keturunan orang baik-baik". Wuah, begitu dah
kurang lebihnya.
Secara bercanda, saya mengingat satu peristiwa, bahwa kalau
kita salah, maka ga peduli siapa kita, kita akan susah. Subhaanallaah, kalo
mengingat hal ini, rasanya bener-bener bahwa amal saya mah ga ada yang bisa
membantu saya. Saya tambah mengingat orang-orang tua saya yang menggerakkan
dirinya dan jamaahnya, untuk mendoakan saya. Saya juga mengingat jasa guru-guru
saya dimintakan doanya oleh keluarga saya, juga untuk mendoakan saya. Tanpa
itu, rasanya ga akan saya bisa menikmati ragam kesenangan lagi.
Kembali saya katakan, siapapun kita adanya di mata Allah,
kalo kita salah, ya susah mah susah aja. Rasulullah sendiri tidak bisa menjamin
nasib putrinya andai putrinya ini berbuat salah dan tidak meniti jalan Allah.
Bahkan Rasulullah bilang kepada kita semua, law
anna Faatimata binti Muhammad saraqat, laqatha'tu yadahaa, kalau Fatimah binti
Muhammad mencuri, aku akan potong tangannya.
Saya pun menikmati ragam kesusahan dari kesusahan yang saya
lakukan. Sungguh kalau tidak ada Kemurahan Allah, Tuhan saya dan Tuhan
Saudara-saudara semua, sungguh tidak ada yang bisa menyelamatkan saya.
Apa message yang
mau saya sampaikan? Message nya, saya pun pernah merasa jatuh sekali. Merasa
bukan siapa-siapa. Bahkan saya bercerita di salah satu buku dan CD saya, bahwa
ragam kesulitan saya pernah mendorong saya untuk bunuh diri. Perasaan ini masih
ditambah dengan kenyataan bahwa kehadiran saya ternyata malah menjadi beban
buat yang lain, dan tidak punya apa-apa lagi.
Tapi kemudian Allah datang. Datang dengan segenap
Kemurahan-Nya. Allah berikan saya jalan-jalan yang tadinya tidak terlihat. Dan
ini pun bisa berlaku buat siapa saja. Tidak perduli siapa ia, asal Allah
berkenan, tentu saja ia bisa dapatkan Kemurahan itu.
Saudara-saudaraku sekalian, di sisi yang lain, saya
merasakan memiliki keluarga, keturunan, dan nasab yang baik-baik, saleh, adalah
juga kemurahan Allah adanya. Berbicara tentang Rasulullah yang menegaskan
demikian, adalah salah satunya untuk menunjukkan ketegasan akan keadilan dan
keharusan seseorang untuk menyelamatkan dirinya sendiri dengan berbuat lurus.
Tapi bahwa bias kebaikan satu keluarga, tentu saja masih akan berpengaruh buat
seseorang.
Saya bisa memberi contoh, melengkapi contoh di atas. Ada
seorang anak, yang selama kuliahnya ga pernah shalat wajib tepat waktu (ga
bicara tentang dosa besar ya. "Cuma" soal lalai saja). Dia kuliah 4
tahun. Kita tahu hitung-hitungannya. Bahwa secara teori, anak ini, begitu lulus
kuliah, ya mesti nganggur 2 tahun. Atau dia kudu mengalami kesusahan selama 2
tahun. Atau kalaupun tidak, ia mesti telat karirnya, telat rizkinya, dan jauh
dari rahmat Allah seukuran 2 tahun perjalanan dunia. (Dalam soal
hitung-hitungan ini, please Peserta KuliahOnline menjadikannya sebuah perenungan.
Jangan dijadikan perdebatan. Ajak hati ikut merenung satu kebenaran yang
terselip, Web Admin). Katakanlah anak ini selalu telat 2 jam. 2 jam dikali 5
waktu sehari, maka telatnya 10 jam. Ibaratnya, ada seseorang yang adu jalan
dengannya, maka orang ini udah jalan 10 jam, sedang dia masih di tempat. Orang
lain udah naik 10 tangga, dia masih di bawah. Orang lain udah punya 10 langkah,
dia masih di situ. Sementara itu, kalau 10 jam sehari, maka sebulan itu 300
jam, atau ngitung gampangnya: 15 hari. 15 hari dikali 12 bulan? 180 hari, atau
sama dengan 6 bulan. 6 bulan dalam setahun, dikali 4 tahun masa kuliah, itu
sama saja telat 24 bulan. Dan 24 bulan itu adalah 2 tahun. Wajar kalau kemudian
saya katakan kepada saudara semua, bahwa anak ini secara teorinya jauh rahmat
Allah sejauh 2 tahun. Jika rahmat itu berbentuk pekerjaan. Maka pekerjaan ini
baru ia dapatkan setelah ia memperbaiki dulu shalatnya. Dan itu pun mestinya ia
dapatkan pekerjaan setelah mengejar 2 tahun ke depan.
Alhamdulillah, atau bahasa kitanya, untunglah, Allah kita
benar-benar Pemurah. Ia akan melihat amal-amal lain, termasuk amalan-amalan
ayah ibunya si anak ini. Sebut saja ayahnya ternyata imam shalat di masjid,
ibunya guru di ta'lim-ta'lim taman bacaan al Qur'an. Keduanya mencintai shalatshalat
sunnah. Sekali dhuha, ga bisa 2 rakaat. Tapi kadang bisa 8 atau malah 12
rakaat. Shalat sunnah tahajjud juga bisa 11 rakaat plus witir. Maka,
"kelebihan" kebaikan ini yang dishare kepada anaknya ini. Tidak
jarang kita temukan, anak model begini tetap senang hidupnya. Misalnya, ia
tetap dapat pekerjaan, langsung setelah ia lulus, ga pake jeda waktu 2 tahun
sebagaimana dihitung di atas. Hingga kemudian Allah datangkan keputusan-Nya
yang lain. Begitulah pengaruh kebaikan satu keluarga. Jangankan ibadah-ibadah
yang membutuhkan gerakan-gerakan banyak. Sekedar doa saja, itu sudah tidak bisa
disebut "sekedar". Sebab pengaruhnya dahsyat sekali. Artinya, jika
ayah ibunya si anak ini berdoa mendoakan anaknya yang malas shalatnya, maka
Kemurahan Allah akan turun juga.
Kalau sudah begini, jangankan satu pohon, satu keluarga,
yang merupakan orang lain pun, kalau dia berbuat kebaikan dan kita ada
nyangkutnya di jaringan kebaikan itu, Allah akan betul-betul cari ini,
dan men-sharenya ke kita. Sungguh, Allah akan mencari
kebaikan seseorang untuk menyelamatkannya. Kita sering mendengar riwayat di
mana Allah perintahkan malaikat-malaikat-Nya benar-benar mencari kebaikan yang
ada dari diri seorang hamba-Nya, sehingga itu bisa Allah jadikan pertimbangan
untuk menyelamatkannya.
Satu ketika misalnya, saudara dengan uang yang tiada
seberapa, membantu satu keluarga. Tapi sabab itu keluarga ini menjadi tegak
punggungnya, dan bisa mencari rizki kembali, maka subhaanallaah, jika Allah
berkenan, maka seluruh kebaikan keluarga ini, bisa juga satu saat menjadi
kebaikan buat kita. Masya Allah.
Atau seperti orang tua saya. Beliau mendatangi `alim `ulama
yang diyakininya saleh. Lalu meminta doa dari mereka. Ada sebagiannya yang
sedang mengajar. Lalu distop mengajarnya itu untuk mendoakan saya. Beliau ajak
murid-muridnya mendoakan saya, lalu melanjutkan lagi ta'limnya. Maka
subhaanallaah, perbuatan `alim `ulama ini betul-betul bisamengundang
pertimbangan Allah untuk Dia berkenan menolong saya. Ah, pengen nangis rasanya
saya. didoakan saja sudah merupakan kekuatan. Apalagi didoakan di tengah ta'lim
yang bobot kebaikannya, punya nilai lebih. Saudaraku, di saat ta'lim, Allah
mengutus malaikat-Nya untuk diam di sana, menaungi mereka yang mengaji. Allah
memerintahkan malaikat-Nya itu untuk mengembangkan sayapnya. Dan bercucuranlah
rahmat dari sayap itu untuk semua yang mengaji. Bahkan yang tertidur di
pengajian pun mendapatkan rahmatNya. Nah, di situasi seperti ini, ada kiriman
doa untuk saya. Ya Allah, jadi pengen nangis beneran nulisnya.
Saudaraku, Anda semua bisa memulai menjadi nasab yang baik
bagi keturunan Anda semua. Supaya mengalir segala kebaikan saudara ke anak
keturunan dan keluarga Saudara. Genjot saja kebaikankebaikan, dan titi jalannya
Allah. Insya Allah anak keturunan saudara semua akan hidup mulia.
Saya beri contoh lain, kekuatan dorongan kebaikan dari
kebaikannya orang lain. Misalkan, ada anakanak yatim mengaji. Dan mengaji ini
kan satu kebaikan. Tapi anak-anak yatim ini mengaji sebab dikumpulkan oleh
istri Saudara. Istri saudara mengumpulkan anak-anak yatim ini untuk mendoakan
saudara, sementara saudara terbaring lemah di rumah sakit ga ada tanda-tanda
kehidupan. Subhaanallaah, ketika anak-anak yatim ini menengadahkan tangannya ke
atas, untuk berdoa, bisa saja Allah segera memberikan signal kehidupan bagi
suami orang ini. Apalagi misalnya, ada anak yatim yang keturunan seorang yang
saleh, walo miskin. Lalu orang saleh ini berdoa kepada Allah Tuhannya, ya
Allah, sayangilah yang menyayangi anak saya sepeninggal saya. Weh, yang kayak
begini ini nih yang masya Allah, bisa mengundang rahmat Allah yang bisa
menggugurkan dosa-dosa kita semua. Dan bukan tidak mungkin, perbuatan semacam
istri ini, bila dilakukan sepenuh hati, sesering mungkin, dan meyakini bahwa
Allah Maha Mendengar doa, insya Allah, si suami tersebut Allah berikan karunia
kesembuhan total. Allah Maha Memiliki Keajaiban.
Seorang pengurus masjid berdiri di depan ratusan orang yang
akan shalat Jum'at. Di tangannya memegang lembaran-lembaran berisi
catatan-catatan pengumumam. Salah satunya pengumuman sedekah orang. Kemudian
dia mengumumkan, "Ada permohonan doa, dari Fulan bin Fulan yang bersedekah
sekian sekian. Mari kita bacakan al Faatihah sebagai doa bagi beliau.
Mudah-mudahan segala hajatnya dikabul Allah, masalahnya ditolong Allah... al
Faatihah...". Wah, saya yakin, hal ini mesti ada pengaruhnya kepada orang
yang didoakan itu. Apalagi semua jamaah yang mendoakan itu adalah sekumpulan orang-orang
yang akan melaksanakan perintah Allah: Shalat Jum'at. Energinya besar sekali
sebagai faktor pendorong turunnya Rahmat dan Kemurahan Allah.
Misalkan ternyata, saudara sendiri ga tahu menahu bahwa ada
sekumpulan orang yang shalat Jum'at mendoakan saudara. Sebab yang memberikan
sedekah itu bukan saudara, dan yang meminta doa untuk saudara adalah orang
lain, maka ini pun sama saja. Tetap nyampe itu energi kebaikannya kepada
saudara. Masya Allah kan?
Jadi, ga usah kuatir juga bila saudara banyak melakukan keburukan,
lalu saudara jadi putus asa. Yang penting sekarang mah, banyakin taubat,
perbaiki shalat-shalat wajib, hidupkan ibadah-ibadah sunnah; qabliyah ba'diyah,
dhuha, tahajjud, witr, baca al Qur'an, perbanyak istighfar dan sedekah. Dan
kemudian pergunakan juga banyak kesempatan untuk berdoa.
Waba'du, memang biar gimana, peran keluarga dan orang-orang
tua penting, dan teramat penting. Pada akhirnya, semua hal berkumpul menjadi
satu penentu juga yang bisa mengundang Kemurahan Allah turun.
***
Tulisan kali ini, agak masih ga ketemu "feel"nya
ya?
Ya, mhn maaf. Habis keganggu terus. Baru nulis sebait, udah
dipanggil urusan pondok. Nerusin sebait lagi, udah ada tamu. Nulis lagi, urusan
anak2, he he he. Nulis lagi, eh ada tausiyah yang saya harus segera menyudahi
menulis. Yah, saya nikmati saja. Walo akhirnya banyak hambatannya ke penaikan
ke KuliahOnline nya. Mudah-mudahan kesabaran semua Peserta KuliahOnline
menjadikan salah satu sabab saya dimudahkan dalam mengajar di KuliahOnline ini.
Amin. Tapi disebut ga dapat feel nya, ga juga. Kita kan lagi bicara Kemurahan
Allah. Kadang kita menganggap Kemurahan Allah itu adalah hal-hal berupa
"anugerah kebaikan" saja. Kalau keburukan, bukanlah kemurahan Allah.
Padahal tidak setiap keburukan itu (baca: kejadian-kejadian buruk), adalah
buruk buat kita. Kalau kita menilik kandungan KuliahOnline yang lalu, kalau
kemudian keburukan yang kita alami malah membuat kita jadi kembali kepada Allah,
maka itu adalah kemurahan Allah adanya.
"Walanudziiqannahum minal `adzaabil adnaa duunal `adzaabil akbari
la'allahum yarji'uun, dan Kami timpakan sebagian keburukan dari
keburukan-keburukan yang dilakukan manusia, adalah agar manusia kembali".
(Qs. az Zumar: 21)
Para Peserta yang dimuliakan Allah, sebisa mungkin, petik
saja hikmah-hikmah yang terkandung ya. Jangan cerewet, he he he. Betapapun,
saya berdoa dulu loh setiap memulai penulisan ini. Agar ia menjadi berkah buat
Saudara-saudara semua. (Berdoa koq ya bilang-bilang ya? He he he). Ga apaapalah
ya? Saudara semua insya Allah saya anggap bahagian dari kehidupan saya sendiri.
Insya Allah.
***
Waba'du lagi nih, bicara tentang kehidupan baik dan buruk.
Banyak yang ikhlas menerima dan menjalani kehidupan baik (baca: menikmati), dan
kemudian tidak ikhlas kalau menjalani kehidupan yang buruk. Tidak sedikit yang
malah ketika hidup ni'mat, berpaling karena sombong dan malas beribadah, dan
ketika diberi kehidupan yang buruk, jadi berputus asa.
"Wa idzaa an'amnaa `ala insaani a'radhaawa na-aa bi jaanibih. Wa
idzaa massahusy-syarru kaana yauusaa, manusia jika diberi ni'mat dari Kami,
berpaling dan membelakang dengan sombong. Dan apabila dia mendapat kesusahan
jadilah ia berputus asa."
(Qs. al Israa; 83)
Ada juga tipe-tipe manusia yang ingat sama Allah kalau susah
aja. Kemudian kalo hilang itu kesusahan, kembali lagi ke tabiat jeleknya.
"Wa idzaa massakumudh dhurru fil bahri dhalla man tad'uuna illaa
iyyaahu. Falammaa najjaakum ilal barri a'radhtum, dan apabila kamu ditimpa
bahaya di lautan, tiadalah yang kamu panggilpanggil kecuali Allah. Maka tatkala
Dia melepaskan kamu ke daratan kamu berpaling. Dan adalah manusia sangat ingkar."
(Qs. al Israa: 67)
Manusia diingatkan oleh Allah:
"Afa-amintum ay-yakhsifa bikum jaanibal barri aw yursila `alaikum
haasibaa. Tsumma laa tajiduu lakum wakiilaa, maka apakah kamu akan merasa aman
bahwa Dia menjungkirbalikkan sebahagian daratan terhadap kamu, atau Dia
mengirimkan angin berbatu terhadap kamu? Kemudian kamu tidak memperoleh
perlindungan bagi kamu?
Am amintum ay-yu'iidakum fiihi taaratan ukhraa fa yursila ;alaikum
qaashifam minar riihi fa yughriqakum bi maa kafartum tsumma laa tajiduu lakum
`alainaa bihii tabii'aa, atau apakah kamu akan merasa aman dari bahwa Dia bisa
saja mengembalikan kamu ke laut waktu yang lain, lalu Dia mengirimkan kepada
kamu angin topan, maka Dia menenggelamkan kamu karena keingkaranmu kemudian
kamu tidak memperoleh orang yang menuntut atas Kami terhadap kejadian itu?”
(Qs. al Israa:
68-69).
Saya pribadi belajar dari ayat-ayat ini. Demi memperhatikan
keadaan sekarang, sangatlah berbeda dengan keadaan mencekam beberapa tahun yang
silam. Andai saya tidak tahu atau lupa lagi bahwa Allah lah yang menyelamatkan
saya, bukan tidak mungkin kemudian saya akan dikembalikan lagi ke posisi itu,
bahkan ke posisi yang lebih gawat lagi.
Siapapun hamba Allah yang susah, karena barangkali
dosa-dosanya, atau karena memang kesusahan itu dipergilirkan Allah, lalu dia
meminta tolong kepada Allah, maka Allah akan tolong. Tapi sesiapa yang tidak
mengingat pertolongan Allah, maka Allah akan kembalikan ke keadaan semula. Dan
janganlah mencela Allah sebab doa yang belum dikabulkan, kecuali kita mengingat
memang dosa kita belum lah sebanding dengan perjalanan pertaubatan dan ibadah
kita. Kepada Allah kita berharap agar Allah membuat kita bisa senang dengan
sabab ampunan dan kasih sayang-Nya. bukan sebab ibadah kita. Karena ga akan
kekejar, kecuali karena Kehendak-Nya.
Ya Allah, kami beriman
kepada-Mu, dan bertaubat dari dosa-dosa baru. Ya Allah, lindungilah kami dari
maksiat-maksiat baru yang membawa lagi kami kepada kesusahan. Ya Allah,
perbaikilah diri kami dengan menyadarkan kami betapa kami banyak kesalahan dan
kelalaiannya terhadap Engkau. Bikin diri ini ikhlas menerima kejadian-kejadian
hidup, termasuk ikhlas dalam beribadah. Rabb, pimpin kami keluar dari
kegelapan-kegelapan kelakuan kami. Hanya karena Engkau belum menunjukkan siapa
diri kami, lalu orang-orang masih melihat kami-kami ini hidup sebagai orang
yang mulia dan selamat. Dan benar-benarlah menjadikan kami dan anak-anak
keturunan kami sebagai orang-orang yang mulia dan selamat. Di dunia dan juga di
akhirat.
No comments:
Post a Comment