Modul Kuliah : Kuliah
Dasar Wisatahati / KDW-01
Materi Modul : Kuliah
Tauhid
Judul Materi : Jauh
Deketnya Kita Dengan Allah
Seri Materi : Seri 23
dari 41 seri/esai
File Paper: Ada
File Audio Tidak
File Video: Tidak
Tugas: Tidak
Jauh Deketnya Kita Dengan Allah
Inget Dan Lalainya Kita Sama Allah
Yang disebut masalah itu bukan masalah yang dianggap masalah oleh
manusia. Melainkan disebut bermasalah itu, kalau kita jauh dari Allah dan lupa
sama Allah. Dan yang disebut anugerah adalah sebaliknya; kita deket dengan
Allah dan ingat pada-Nya.
Saudaraku yang dirahmati Allah, beberapa kejadian kecil
selama "libur", saya tuliskan di kolomkolom Non-KuliahOnline di
Website ini. Silahkan melihat-lihat di artikel lepas maupun di sms-sms dengan
jamaah. Mudah-mudahan ada benang merah dengan materi-materi KuliahOnline.
Saudaraku, beragam reaksi ketika peserta KuliahOnline
membaca materi kuliah ke-22. Tapi baik, tanpa banyak kalam, kita bismillah
memulai materi ke-23 ini. Alhamdulillah. Semoga Allah memberikan ridha-Nya.
Setelah menelisik kesalahan-kesalahan saya, saya bukannya
menyesal. Saat itu, dulu, saya malah jadi ikhlas menerima "kenapa saya
susah". Istilahnya, saya mewajarkan diri saya mengapa saya jadi susah.
Sebab hitungannya memang wajar saya susah. "Message" ini, sampe ke
saya. Alhamdulillah. Sehingga kemudian saya fokus juga untuk mengejar
ketertinggalan. Dan alhamdulillah, Allah sediakan banyak jalan untuk mengejar
ketertinggalan ini. Apa jadinya kalau saya tidak menyadari? Yang paling parah
adalah dosa tauhid. kita merasa Allah tidak akan pernah dekat dengan kita.
Tidak jarang reaksi begini malah terjadi: Seseorang merasa Allah semakin
menjauh ketika justru ia semakin mendekat.
Loh, memangnya ada? Begitu barangkali sebagian kita
bertanya. Jawabannya, ya, ada.
Ada hadits qudsi yang isinya kurang lebih, jika Allah
menghendaki suatu kebaikan bagi seseorang, justru Allah segerakan keburukan
buatnya. Supaya apa? Supaya segera terbebas ia dari kesalahankesalahannya, dari
dosa-dosa. Insya Allah. Dan tentu saja, ada juga amalan yang bener-bener
ngenolin dosa-dosa. Salah satunya adalah dengan bertaubat sebener-benernya
taubat.
Nah, dalam satu dua kasus, atau malah tidak sedikit yang
terjadi begini: ketika seseorang berjalan menuju ampunan-Nya, di tengah jalan
ia malah menemui kendala-kendala baru, masalah-masalah baru, yang justru
menambah bungkuk. Menambah berat. Tentu saja perlu diteliti lebih dalam lagi.
Tapi bagi saya, jawaban yang sering saya lihat adalah justru dengan cara itu,
Allah mempercepat masa bayar dari keburukan yang kita lakukan. Dan karenanya
kita perlu berterima kasih kepada Allah. Saya pun demikian. Ada satu keanehan.
Ketika saya jejek gas, injek pedal, lah lah lah, hutang saya malah tambah
buanyak. Bertambah berkali-kali lipat.
Saat itulah saya teliti kehidupan saya. Kesimpulannya, ya
kalimat-kalimat di atas itu. Sambil terus husnudzdzan kepada Allah, bahwa nanti
selepas 0-0, Allah akan angkat derajat saya. Dan kepositifan itu, saya anggap
menjadi doa juga. Akhirnya, saya jadi sustain,
jadi sabar. Saya terimain aja apa yang terjadi. Termasuk ketika saya harus
membayar dengan masuk penjara. Agak enteng terasa, sebab saya malah menganggap,
makin cepat beban turun ke pundak saya, makin banyak beban yang saya pikul, akan
semakin cepat pula keringanan itu saya dapat. Dan insya Allah saya tahu, Allah
pun tentu tidak akan memikulkan beban buat hamba-Nya kecuali yang bisa
hamba-Nya itu pikul. Artinya, ambang batas maksimal akan terjadi, dan tidak
akan pernah terjadi melewati ambang batas itu. Penerimaan terhadap segala
kejadian, keikhlasan menjalani setiap peristiwa, rasanya menjadi teman yang
meringankan perjalanan hidup. Jarang orang yang bisa menerima keadaannya;
keadaan sedang di-PHK, sedang susah, sedang berhutang, sedang sakit, sedang
malang, dan sedang sulit di kesulitan yang umumnya dirasakan orang umum sebagai
satu kesulitan.
Jarang orang yang memandang bahwa kesulitan itu adalah
anugerah. Bahwa bersama kesulitan itu ada Kemurahan Allah, ada Kebaikan Allah,
ada Rahmat Allah. Kebanyakan orang memilih untuk menambah dirinya untuk lebih
lagi berduka; meratapi, menyesali, atau bahkan mengatasnamakan "kasihan,
menghancurkan orang lain". Misalnya, seseorang yang diburu petugas bank
sebab hutangnya. Sementara, sebagai jaminan hutangnya itu adalah tanah ibunya,
yang kemudian ditetapkan sita jaminan. Terhadap yang begini ini, mata rantai
ketidaknerimaan atas takdir Allah, seperti ada di semua mata rantai orang-orang
yang terlibat. Si anak merasa takut dengan saudara-saudaranya yang lain,
saudara-saudaranya yang lain tidak menerima si saudara ini melakukan perbuatan
bodoh yang merugikan ibu mereka, si ibu kemudian menyesali kenapa semua ini
terjadi, petugas bank yang memberikan rekomendasi menyesal sudah memberikan ia
kredit, si penghutang pun menambah lagi daftar panjang penyesalannya: kenapa
sampe kenal si Fulan yang ia yakini sebagai penyebab segala kehancurannya,
salah memilih bisnis, sampe kemudian menyalahkan ketidaktepatan waktu; masa
krisislah, jatuhnya perekonomian nasional, resesi global, dsb. Allah, sama
sekali "tidak dihitungnya". Padahal mata rantai keajaiban akan
terjadi di setiap simpul mata rantai jaringan orang-orang yang disebut. Dalam
kasus ini, andai keikhlasan ada di hati mereka, ya sudah, mau diapain lagi? Sudah
terjadi. Mereka lalu memilih saling memahami, saling memaafkan, malah saling
berpegangan tangan mengejar dan mengubah keburukan yang sudah trjadi, maka yang
terjadi adalah Cahaya Allah di setiap etape berikutnya. Lalu kemudian tampak
terang benderanglah manakala akhirnya mereka kemudian bisa bilang; Kalau dulu
tidak terjadi krisis di keluarga kami, tidak akan lahir perusahaan ini. Gitulah
permisalannya.
Bingung ya? Ya, coba baca lagi Materi Kuliah ke-22 ya. Biar
agak nyambung. Baca nya pelan-pelan. Jangan terburu-buru. Supaya nyambung.
***
Beberapa saat setelah saya menulis KuliahOnline materi
ke-22, saya ketemu dengan seorang yang mengaku pengikut setia seorang ustadz
ternama di negeri ini. Selama 10 tahun katanya beliau mengikuti ustadz ini. Ada
kecocokan. Dan selama ini pula ia menebus kesalahannya. Maksudnya, sabab
mengikuti orang baik, alhamdulillah ia bisa mengikuti pula kebiasaannya ustadz
ini; Shalat shubuh berjamaah adalah hal minimal yang ia lakukan. Tapi ia
mengaku, kesusahannya hanya berkurang sedikit. Ia hanya merasakan ketenangan.
Tapi adapun masalahnya, tetap saja masalah. Hanya, ketika saya buru-buru
mengoreksi, bahwa ketenangan itu hal termahal ketika bermasalah, ia aminkan.
"Bener juga. Kalau ga tenang, ga bisa juga saya hidup enak". Namun
ada yang menarik. Dia ini semula merasa ada sesuatu di hatinya yang selama ini
ia tahan-tahan. Yakni pertanyaan seperti yang saya jelaskan di atas:
"Kenapa ya? Saya kan udah berubah. Koq belum ada perubahan? Kenapa ya?
Saya kan udah mengikuti jalannya orang baik, koq tetap saja ga berubah?".
Pertanyaanpertanyaan ini ia coba redam. Ia menahan pertanyaan ini untuk tidak
meledak. Subhaanallaah, inilah memang bisikan syeitan. Kerjaannya menggagalkan
saja riyadhah seseorang.
Apa yang membuat dia ini bisa menahan pertanyaan-pertanyaan
tersebut? Salah satunya kemudian apa yang ditulis di materi kuliah ke-22, bahwa
barangkali ia "belum impas" membayar Allah subhaanahuu wata'aalaa.
"Atau dibuang ke panjang umur, Haj", begitu saya sambungnya. Artinya,
bisa saja, sudah diampuni sejak awal ia memohon ampun. Namun ia diberi
kesempatan berumur panjang, agar bisa menebus ketertinggalannya dan beramal
saleh. Ia mengaku, sejak ia mencoba menghitung-hitung kesalahan dirinya,
kekhawatiran semula bahwa ia akan semakin menyesali dirinya, justru tidak
terjadi. Yang ada, justru ia semakin ikhlas akan segala kesusahannya. Ia
yakinkan dirinya perjalanan pertaubatannya belum nyampe. Dan di saat yang sama,
hal ini tidak membuatnya lemah, melainkan justru semakin kuat. Yakni dengan
meyakini pula bahwa karena pertolongan Allah lah, kesusahan yang ia rasakan,
tidak menjamah hatinya. Tidak mengganggu pikirannya, dan tidak membuat dirinya
tidak lagi gelisah.
Kawan saya ini bilang, 10 tahun ia mengikuti ustadz terkenal
ini, tiada sebanding dengan 28 tahunan ia mengikuti syetan. Kalau dilihat-lihat
dari selisih itu saja, ia masih perlu 18 tahun perjalanan kebaikan. Baru
sebanding. Ya, Saudara-Saudaraku sekalian, usianya 48 tahun. 48 tahun dipotong
masa 10 tahun, berarti ia masuk ke ustadz tersebut di umur 38 tahun. Lah,
bagaimana dengan usia 38 tahun ke belakang? Yakni mulai ia akil baligh yang
katakanlah balighnya itu usia 10 tahun hingga 38 tahun? Dia bilang, dia
lumayan tercenung. Sekarang ini, ia tambah ga bisa menyesali. Malah ya itu,
yang ada malah bertambah syukur. Syukur bahwa Allah itu Maha Baik.
Membiarkannya hidup untuk menebus dosa-dosanya.
Ia yang semula mengatakan bahwa selama 10 tahun ia sudah
shalat shubuh berjamaah tanpa putus, menjadi merasa haus untuk terus berburu
kebaikan. Sebab dari hitung-hitungan shalat seperti di materi ke-22, sudah jauh
tertinggal. Masya Allah.
Tapi saudara-saudaraku sekalian ga usah khawatir. Allah itu
Maha Pemurah. Nanti kita tetap sampai ke pembahasan hitung-hitungan betapa
murahnya Allah, meskipun kita tidak akan pernah bisa menghitungnya. Tapi
minimal, kita menjadi tambah yakin, bahwa Allah itu Maha Pemurah. Saya masih
membutuhkan 1-2 tulisan penjeda lagi untuk sampai ke hitungan-hitungan
sebaliknya dari tulisan materi ke-22. Ga apa2 ya? Anggap saja ini seperti
tuntutan awal agar langkahnya menjadi semakin benar.
Saudaraku, saya mencoba mengingat-ngingat juga apa yang
terjadi dalam kehidupan saya dan kemudian sebisa mungkin saya share kepada
kawan-kawan saya. Ternyata benar. Perjalanan saya perjalanan belajar tentang
tauhid. Perjalanan seorang hamba yang berusaha untuk menjadi `abid-Nya. tidak
mudah. Tapi saya kepengen menjalani hidup ini lebih ikhlas, sambil terus
belajar tentang iman, islam, tauhid, amal-amal saleh, dan ibadah. Dan saya pun
belajar, pelan-pelan. Termasuk belajar dari setiap etape kehidupan langsung (learning process experiental learning).
Dulu, di awal-awal belajar tentang resiko kehidupan deket-jauh
dari Allah, ketika saya menyadari bahwa saya mulai di ambang kejatuhan, dan
saya jatuh, saya membayangkan dosa-dosa saya.
Ya, saya membayangkan dosa-dosa saya. Saya banting ke sana
saja. Sebenernya, dengan cara ini saja, dulu hati saya relatif menerima. Saya
menerima hukuman. Tapi saudara-saudara, ini beda dengan menyalahkan diri. Beda.
Menurut saya ini bukan menyalahkan diri sendiri. Ini lebih ke
"memposisikan diri menerima" bahwa rangkaian kesulitan hidup sebab
dosa dan kemaksiatan yang saya lakukan.
Ada saya pernah keluar dari salah satu rumah kawan saya yang
kemudian saya clear dinyatakan bersalah dan harus menanggung sejumlah kerugian.
Saya diberinya waktu untuk menyelesaikan, dengan disertai segala
kemungkinan-kemungkinan buruk. Begitu saya keluar dari rumahnya, yang ada
kemudian lisan ini berzikir dengan doanya Nabiyallah Adam; Rabbanaa dzalamnaa anfusanaa, waillam taghfirlanaa wa tarhamnaa
lanakuunannaa minal khaasiriin, ya Allah, sungguh saya telah menzalimi diri
saya sendiri. Saya tidak taat kepada-Mu, saya banyak bermaksiat kepada-Mu, saya
t'lah melalaikan shalat berjamaah, saya banyak meninggalkan sunnah, saya hidup
dalam keadaan tidak turut pada aturan-Mu. Saya pun banyak nafsunya, kurang
syukurnya, hilang sabarnya, bahkan ketika dunia saya genggam, dunia malah
menjauhkan saya dari-Mu ya Allah. Ya Allah, jika kemudian kesusahan ini adalah
cara-Mu untuk menyucikan diri saya, dan cara-Mu untuk mengingatkan saya akan
diri-Mu, saya terima. Ringankan saja perjalanan ini ya Allah.
Subhaanallaah. Hebat. Dengan cara ini, saya merasa adem hati
ini. Rasanya saya sudah membagi beban saya kepada Allah. Seketika saya
"mewajarkan" mengapa saya menjadi sulit dan susah, serta harus
menanggung ini semua. Rupanya memang
jawabannya adalah saya jauuuuuuuuuuuuuuhhhhh dari Allah.
Di perjalanan pertaubatan saya, sebagaimana saya jelaskan di
atas, ternyata masalahnya menjadi semakin jadi. Tapi terus saja saya pompa
dengan kepositifan. Saya tidak mau menjadi orang yang paling nestapa dan tambah
nestapa dengan menyalahkan diri yang auranya negatif. Saya, dengan doa di atas,
nampak seperti menyalahkan diri sendiri, tapi, itu auranya positif. Saya bisa
merasakan itu. Saya merasakan getaran harus terus memperbaiki iman islam saya.
Saya terima kesulitan sebagai anugerah. Anugerah
yang mengantarkan saya kepada Allah. Saya kejar terus saja Allah. Saya
hanya meyakinkan diri ini, masa iya ga kekejar? Masa iya ga nyampe. Insya Allah
nyampe. Apalagi Dia Maha Rahman Maha Rahim.
Saudaraku, sebelum kita beralih ke materi kuliah besok, kita
coba jelaskan ya, apa yang disebut anugerah dan apa yang disebut masalah. Salah
mendifinisikan, dan terlambat mengetahuinya, akan beresiko sangat besar. Rumus
"MASALAH" itu sederhana: Kalau kita jauh dari Allah dan kalau kita
lupa sama Allah. Nah, coba koreksi dari dua hal ini. Saudara kaya, tapi saudara
malah jauh dari Allah dan lupa sama Allah. Lah, ini justru masalah. Masalah
tauhid, masalah iman, masalah syukur. Cuma, ada yang tahu dan menyadari,
sementara itu banyak juga yang tidak tahu dan tidak menyadari. Ada yang dikasih
tahu lantas menerima, ada yang diberitahu tapi tidak bergeming. Kalau tidak
mempan diberitahu dengan "message" dari Allah (dengan sejumlah masalah),
maka Allah akan benamkan semuanya menyisakan kita yang kemudian meratapi
kejatuhan kita. Karena yang disebut masalah itu bukan masalah keduniaan.
Misalnya, ada satu dua tagihan kita yang tidak tertagih, demo karyawan, raibnya
satu dua asset diambil orang. Bukan. Ini bukan yang diincer Allah. Ini hanya
model dari bentuk pesan tauhid saja dari Allah. Yang diincer sama Allah adalah
tauhid kita, iman kita, amal saleh kita, islam kita, syukurnya kita. Sifatnya
yang begini ini yang diincer. Tapi ya itu, tidak sedikit yang tidak memahami
lalu langsung nge-track di urusan ini; pertaubatan, iman, dan amal saleh. Tapi
andai saudara-saudara yang kaya ini benar-benar jatuh miskin, lalu dengan
kemiskinannya itu bisa menjadi muslim yang baik, mukmin yang baik, bisa
bertaubat, bisa beramal saleh, bisa baca al Qur'an lagi, bisa megang tasbih
lagi, bisa merogoh kantong lagi untuk sedekah, wuah, ini mah namanya ANUGERAH.
Sebab apa? Anugerah itu adalah sebaliknya; kita bisa deket sama Allah, kita
bisa inget sama Allah. Saudara karirnya naik, tapi ada kemunduran spiritual;
shalat dhuhanya jadi hilang, shalat berjamaah jadi hilang, Saudara malah
serakah, sombong, tidak menginjak bumi... ini yang harus kita kenali sebagai
"sedang bermasalah". Namun sebaliknya, adalah anugerah. Saudara
di-PHK. Tapi dengan diPHK kemudian menjadi saleh, menjadi deket lagi sama anak
istri, sama suami, sama orang tua, tambah tawadhu', insya Allah inilah
anugerah.
Seseorang yang bercerai, belum tentu disebut bermasalah.
Sebab ukurannya sudah beda. Jika sebelumnya "bercerai"nya itu yang
disebut masalahnya, trnyata sekarang bukan. Yakni, perjalanan sebelum cerainya
itulah yang disebut masalah. Kalau dia mau mengubah "masalah" nya itu
jadi anugerah, gampang. Bisa seketika koq. Yakni pindah jalur saja; dari jauh
dan lupa sama Allah, menjadi deket dan ingat sama Allah.
Perlakukan juga dua kriteria ini; jauh dan deket sama Allah,
di urusan-urusan yang saudara anggap masalah. Maka saudara akan tercengang
sendiri, iya ya, mudah bener mengubah dari masalah menjadi anugerah. Keajaiban
perubahan suasana hati juga akan segera didapat. Coba saja saudara pikirkan
misalnya soal hutang. Benarkah hutang itulah masalah Anda? Bukan soal iman,
soal tauhid, soal amal saleh, soal islam, soal syukur Saudara? Coba saja lihat-lihat
ke belakang hidup Saudara sebelumnya berhutang. Coba lagi pikirin soal
penyakit, soal jodoh, soal anak, dan soal-soal yang lain yang sedang saudara
hadapi.
Buat yang tidak sedang menghadapi masalah apapun, dan dia
merasa "aman-aman" saja, coba juga pakai 2 ukuran ini; jauh dan
deketnya dengan Allah, inget dan lalainya dari Allah. Jangan-jangan sebenernya
kehidupan Saudara sedang diincer sama Allah. Mari kita sama-sama mengoreksi.
Insya Allah kita akan ketemu bahwa Allah benar-benar Maha Pemurah, Maha Sayang,
Maha Baik sama kita. Subhaanallaah.
No comments:
Post a Comment