Tuesday, October 2, 2012

Kuliah Dasar Wisata Hati KDWH 0123 Jauh Deketnya Kita Dengan Allah


Materi kuliah ini didownload dari www.kuliahonline.wisatahati.com

Modul Kuliah : Kuliah Dasar Wisatahati / KDW-01
Materi Modul : Kuliah Tauhid
Judul Materi : Jauh Deketnya Kita Dengan Allah
Seri Materi : Seri 23 dari 41 seri/esai

File Paper: Ada
File Audio Tidak
File Video: Tidak
Tugas: Tidak


Jauh Deketnya Kita Dengan Allah
Inget Dan Lalainya Kita Sama Allah


Yang disebut masalah itu bukan masalah yang dianggap masalah oleh manusia. Melainkan disebut bermasalah itu, kalau kita jauh dari Allah dan lupa sama Allah. Dan yang disebut anugerah adalah sebaliknya; kita deket dengan Allah dan ingat pada-Nya.


Saudaraku yang dirahmati Allah, beberapa kejadian kecil selama "libur", saya tuliskan di kolomkolom Non-KuliahOnline di Website ini. Silahkan melihat-lihat di artikel lepas maupun di sms-sms dengan jamaah. Mudah-mudahan ada benang merah dengan materi-materi KuliahOnline.

Saudaraku, beragam reaksi ketika peserta KuliahOnline membaca materi kuliah ke-22. Tapi baik, tanpa banyak kalam, kita bismillah memulai materi ke-23 ini. Alhamdulillah. Semoga Allah memberikan ridha-Nya.

Setelah menelisik kesalahan-kesalahan saya, saya bukannya menyesal. Saat itu, dulu, saya malah jadi ikhlas menerima "kenapa saya susah". Istilahnya, saya mewajarkan diri saya mengapa saya jadi susah. Sebab hitungannya memang wajar saya susah. "Message" ini, sampe ke saya. Alhamdulillah. Sehingga kemudian saya fokus juga untuk mengejar ketertinggalan. Dan alhamdulillah, Allah sediakan banyak jalan untuk mengejar ketertinggalan ini. Apa jadinya kalau saya tidak menyadari? Yang paling parah adalah dosa tauhid. kita merasa Allah tidak akan pernah dekat dengan kita. Tidak jarang reaksi begini malah terjadi: Seseorang merasa Allah semakin menjauh ketika justru ia semakin mendekat.

Loh, memangnya ada? Begitu barangkali sebagian kita bertanya. Jawabannya, ya, ada.

Ada hadits qudsi yang isinya kurang lebih, jika Allah menghendaki suatu kebaikan bagi seseorang, justru Allah segerakan keburukan buatnya. Supaya apa? Supaya segera terbebas ia dari kesalahankesalahannya, dari dosa-dosa. Insya Allah. Dan tentu saja, ada juga amalan yang bener-bener ngenolin dosa-dosa. Salah satunya adalah dengan bertaubat sebener-benernya taubat.

Nah, dalam satu dua kasus, atau malah tidak sedikit yang terjadi begini: ketika seseorang berjalan menuju ampunan-Nya, di tengah jalan ia malah menemui kendala-kendala baru, masalah-masalah baru, yang justru menambah bungkuk. Menambah berat. Tentu saja perlu diteliti lebih dalam lagi. Tapi bagi saya, jawaban yang sering saya lihat adalah justru dengan cara itu, Allah mempercepat masa bayar dari keburukan yang kita lakukan. Dan karenanya kita perlu berterima kasih kepada Allah. Saya pun demikian. Ada satu keanehan. Ketika saya jejek gas, injek pedal, lah lah lah, hutang saya malah tambah buanyak. Bertambah berkali-kali lipat.

Saat itulah saya teliti kehidupan saya. Kesimpulannya, ya kalimat-kalimat di atas itu. Sambil terus husnudzdzan kepada Allah, bahwa nanti selepas 0-0, Allah akan angkat derajat saya. Dan kepositifan itu, saya anggap menjadi doa juga. Akhirnya, saya jadi sustain, jadi sabar. Saya terimain aja apa yang terjadi. Termasuk ketika saya harus membayar dengan masuk penjara. Agak enteng terasa, sebab saya malah menganggap, makin cepat beban turun ke pundak saya, makin banyak beban yang saya pikul, akan semakin cepat pula keringanan itu saya dapat. Dan insya Allah saya tahu, Allah pun tentu tidak akan memikulkan beban buat hamba-Nya kecuali yang bisa hamba-Nya itu pikul. Artinya, ambang batas maksimal akan terjadi, dan tidak akan pernah terjadi melewati ambang batas itu. Penerimaan terhadap segala kejadian, keikhlasan menjalani setiap peristiwa, rasanya menjadi teman yang meringankan perjalanan hidup. Jarang orang yang bisa menerima keadaannya; keadaan sedang di-PHK, sedang susah, sedang berhutang, sedang sakit, sedang malang, dan sedang sulit di kesulitan yang umumnya dirasakan orang umum sebagai satu kesulitan.

Jarang orang yang memandang bahwa kesulitan itu adalah anugerah. Bahwa bersama kesulitan itu ada Kemurahan Allah, ada Kebaikan Allah, ada Rahmat Allah. Kebanyakan orang memilih untuk menambah dirinya untuk lebih lagi berduka; meratapi, menyesali, atau bahkan mengatasnamakan "kasihan, menghancurkan orang lain". Misalnya, seseorang yang diburu petugas bank sebab hutangnya. Sementara, sebagai jaminan hutangnya itu adalah tanah ibunya, yang kemudian ditetapkan sita jaminan. Terhadap yang begini ini, mata rantai ketidaknerimaan atas takdir Allah, seperti ada di semua mata rantai orang-orang yang terlibat. Si anak merasa takut dengan saudara-saudaranya yang lain, saudara-saudaranya yang lain tidak menerima si saudara ini melakukan perbuatan bodoh yang merugikan ibu mereka, si ibu kemudian menyesali kenapa semua ini terjadi, petugas bank yang memberikan rekomendasi menyesal sudah memberikan ia kredit, si penghutang pun menambah lagi daftar panjang penyesalannya: kenapa sampe kenal si Fulan yang ia yakini sebagai penyebab segala kehancurannya, salah memilih bisnis, sampe kemudian menyalahkan ketidaktepatan waktu; masa krisislah, jatuhnya perekonomian nasional, resesi global, dsb. Allah, sama sekali "tidak dihitungnya". Padahal mata rantai keajaiban akan terjadi di setiap simpul mata rantai jaringan orang-orang yang disebut. Dalam kasus ini, andai keikhlasan ada di hati mereka, ya sudah, mau diapain lagi? Sudah terjadi. Mereka lalu memilih saling memahami, saling memaafkan, malah saling berpegangan tangan mengejar dan mengubah keburukan yang sudah trjadi, maka yang terjadi adalah Cahaya Allah di setiap etape berikutnya. Lalu kemudian tampak terang benderanglah manakala akhirnya mereka kemudian bisa bilang; Kalau dulu tidak terjadi krisis di keluarga kami, tidak akan lahir perusahaan ini. Gitulah permisalannya.

Bingung ya? Ya, coba baca lagi Materi Kuliah ke-22 ya. Biar agak nyambung. Baca nya pelan-pelan. Jangan terburu-buru. Supaya nyambung.


***


Beberapa saat setelah saya menulis KuliahOnline materi ke-22, saya ketemu dengan seorang yang mengaku pengikut setia seorang ustadz ternama di negeri ini. Selama 10 tahun katanya beliau mengikuti ustadz ini. Ada kecocokan. Dan selama ini pula ia menebus kesalahannya. Maksudnya, sabab mengikuti orang baik, alhamdulillah ia bisa mengikuti pula kebiasaannya ustadz ini; Shalat shubuh berjamaah adalah hal minimal yang ia lakukan. Tapi ia mengaku, kesusahannya hanya berkurang sedikit. Ia hanya merasakan ketenangan. Tapi adapun masalahnya, tetap saja masalah. Hanya, ketika saya buru-buru mengoreksi, bahwa ketenangan itu hal termahal ketika bermasalah, ia aminkan. "Bener juga. Kalau ga tenang, ga bisa juga saya hidup enak". Namun ada yang menarik. Dia ini semula merasa ada sesuatu di hatinya yang selama ini ia tahan-tahan. Yakni pertanyaan seperti yang saya jelaskan di atas: "Kenapa ya? Saya kan udah berubah. Koq belum ada perubahan? Kenapa ya? Saya kan udah mengikuti jalannya orang baik, koq tetap saja ga berubah?". Pertanyaanpertanyaan ini ia coba redam. Ia menahan pertanyaan ini untuk tidak meledak. Subhaanallaah, inilah memang bisikan syeitan. Kerjaannya menggagalkan saja riyadhah seseorang.


Apa yang membuat dia ini bisa menahan pertanyaan-pertanyaan tersebut? Salah satunya kemudian apa yang ditulis di materi kuliah ke-22, bahwa barangkali ia "belum impas" membayar Allah subhaanahuu wata'aalaa. "Atau dibuang ke panjang umur, Haj", begitu saya sambungnya. Artinya, bisa saja, sudah diampuni sejak awal ia memohon ampun. Namun ia diberi kesempatan berumur panjang, agar bisa menebus ketertinggalannya dan beramal saleh. Ia mengaku, sejak ia mencoba menghitung-hitung kesalahan dirinya, kekhawatiran semula bahwa ia akan semakin menyesali dirinya, justru tidak terjadi. Yang ada, justru ia semakin ikhlas akan segala kesusahannya. Ia yakinkan dirinya perjalanan pertaubatannya belum nyampe. Dan di saat yang sama, hal ini tidak membuatnya lemah, melainkan justru semakin kuat. Yakni dengan meyakini pula bahwa karena pertolongan Allah lah, kesusahan yang ia rasakan, tidak menjamah hatinya. Tidak mengganggu pikirannya, dan tidak membuat dirinya tidak lagi gelisah.

Kawan saya ini bilang, 10 tahun ia mengikuti ustadz terkenal ini, tiada sebanding dengan 28 tahunan ia mengikuti syetan. Kalau dilihat-lihat dari selisih itu saja, ia masih perlu 18 tahun perjalanan kebaikan. Baru sebanding. Ya, Saudara-Saudaraku sekalian, usianya 48 tahun. 48 tahun dipotong masa 10 tahun, berarti ia masuk ke ustadz tersebut di umur 38 tahun. Lah, bagaimana dengan usia 38 tahun ke belakang? Yakni mulai ia akil baligh ­ yang katakanlah balighnya itu usia 10 tahun ­ hingga 38 tahun? Dia bilang, dia lumayan tercenung. Sekarang ini, ia tambah ga bisa menyesali. Malah ya itu, yang ada malah bertambah syukur. Syukur bahwa Allah itu Maha Baik. Membiarkannya hidup untuk menebus dosa-dosanya.

Ia yang semula mengatakan bahwa selama 10 tahun ia sudah shalat shubuh berjamaah tanpa putus, menjadi merasa haus untuk terus berburu kebaikan. Sebab dari hitung-hitungan shalat seperti di materi ke-22, sudah jauh tertinggal. Masya Allah.

Tapi saudara-saudaraku sekalian ga usah khawatir. Allah itu Maha Pemurah. Nanti kita tetap sampai ke pembahasan hitung-hitungan betapa murahnya Allah, meskipun kita tidak akan pernah bisa menghitungnya. Tapi minimal, kita menjadi tambah yakin, bahwa Allah itu Maha Pemurah. Saya masih membutuhkan 1-2 tulisan penjeda lagi untuk sampai ke hitungan-hitungan sebaliknya dari tulisan materi ke-22. Ga apa2 ya? Anggap saja ini seperti tuntutan awal agar langkahnya menjadi semakin benar.

Saudaraku, saya mencoba mengingat-ngingat juga apa yang terjadi dalam kehidupan saya dan kemudian sebisa mungkin saya share kepada kawan-kawan saya. Ternyata benar. Perjalanan saya perjalanan belajar tentang tauhid. Perjalanan seorang hamba yang berusaha untuk menjadi `abid-Nya. tidak mudah. Tapi saya kepengen menjalani hidup ini lebih ikhlas, sambil terus belajar tentang iman, islam, tauhid, amal-amal saleh, dan ibadah. Dan saya pun belajar, pelan-pelan. Termasuk belajar dari setiap etape kehidupan langsung (learning process ­ experiental learning).

Dulu, di awal-awal belajar tentang resiko kehidupan deket-jauh dari Allah, ketika saya menyadari bahwa saya mulai di ambang kejatuhan, dan saya jatuh, saya membayangkan dosa-dosa saya.

Ya, saya membayangkan dosa-dosa saya. Saya banting ke sana saja. Sebenernya, dengan cara ini saja, dulu hati saya relatif menerima. Saya menerima hukuman. Tapi saudara-saudara, ini beda dengan menyalahkan diri. Beda. Menurut saya ini bukan menyalahkan diri sendiri. Ini lebih ke "memposisikan diri menerima" bahwa rangkaian kesulitan hidup sebab dosa dan kemaksiatan yang saya lakukan.

Ada saya pernah keluar dari salah satu rumah kawan saya yang kemudian saya clear dinyatakan bersalah dan harus menanggung sejumlah kerugian. Saya diberinya waktu untuk menyelesaikan, dengan disertai segala kemungkinan-kemungkinan buruk. Begitu saya keluar dari rumahnya, yang ada kemudian lisan ini berzikir dengan doanya Nabiyallah Adam; Rabbanaa dzalamnaa anfusanaa, waillam taghfirlanaa wa tarhamnaa lanakuunannaa minal khaasiriin, ya Allah, sungguh saya telah menzalimi diri saya sendiri. Saya tidak taat kepada-Mu, saya banyak bermaksiat kepada-Mu, saya t'lah melalaikan shalat berjamaah, saya banyak meninggalkan sunnah, saya hidup dalam keadaan tidak turut pada aturan-Mu. Saya pun banyak nafsunya, kurang syukurnya, hilang sabarnya, bahkan ketika dunia saya genggam, dunia malah menjauhkan saya dari-Mu ya Allah. Ya Allah, jika kemudian kesusahan ini adalah cara-Mu untuk menyucikan diri saya, dan cara-Mu untuk mengingatkan saya akan diri-Mu, saya terima. Ringankan saja perjalanan ini ya Allah.

Subhaanallaah. Hebat. Dengan cara ini, saya merasa adem hati ini. Rasanya saya sudah membagi beban saya kepada Allah. Seketika saya "mewajarkan" mengapa saya menjadi sulit dan susah, serta harus menanggung ini semua. Rupanya memang jawabannya adalah saya jauuuuuuuuuuuuuuhhhhh dari Allah.

Di perjalanan pertaubatan saya, sebagaimana saya jelaskan di atas, ternyata masalahnya menjadi semakin jadi. Tapi terus saja saya pompa dengan kepositifan. Saya tidak mau menjadi orang yang paling nestapa dan tambah nestapa dengan menyalahkan diri yang auranya negatif. Saya, dengan doa di atas, nampak seperti menyalahkan diri sendiri, tapi, itu auranya positif. Saya bisa merasakan itu. Saya merasakan getaran harus terus memperbaiki iman islam saya. Saya terima kesulitan sebagai anugerah. Anugerah yang mengantarkan saya kepada Allah. Saya kejar terus saja Allah. Saya hanya meyakinkan diri ini, masa iya ga kekejar? Masa iya ga nyampe. Insya Allah nyampe. Apalagi Dia Maha Rahman Maha Rahim.

Saudaraku, sebelum kita beralih ke materi kuliah besok, kita coba jelaskan ya, apa yang disebut anugerah dan apa yang disebut masalah. Salah mendifinisikan, dan terlambat mengetahuinya, akan beresiko sangat besar. Rumus "MASALAH" itu sederhana: Kalau kita jauh dari Allah dan kalau kita lupa sama Allah. Nah, coba koreksi dari dua hal ini. Saudara kaya, tapi saudara malah jauh dari Allah dan lupa sama Allah. Lah, ini justru masalah. Masalah tauhid, masalah iman, masalah syukur. Cuma, ada yang tahu dan menyadari, sementara itu banyak juga yang tidak tahu dan tidak menyadari. Ada yang dikasih tahu lantas menerima, ada yang diberitahu tapi tidak bergeming. Kalau tidak mempan diberitahu dengan "message" dari Allah (dengan sejumlah masalah), maka Allah akan benamkan semuanya menyisakan kita yang kemudian meratapi kejatuhan kita. Karena yang disebut masalah itu bukan masalah keduniaan. Misalnya, ada satu dua tagihan kita yang tidak tertagih, demo karyawan, raibnya satu dua asset diambil orang. Bukan. Ini bukan yang diincer Allah. Ini hanya model dari bentuk pesan tauhid saja dari Allah. Yang diincer sama Allah adalah tauhid kita, iman kita, amal saleh kita, islam kita, syukurnya kita. Sifatnya yang begini ini yang diincer. Tapi ya itu, tidak sedikit yang tidak memahami lalu langsung nge-track di urusan ini; pertaubatan, iman, dan amal saleh. Tapi andai saudara-saudara yang kaya ini benar-benar jatuh miskin, lalu dengan kemiskinannya itu bisa menjadi muslim yang baik, mukmin yang baik, bisa bertaubat, bisa beramal saleh, bisa baca al Qur'an lagi, bisa megang tasbih lagi, bisa merogoh kantong lagi untuk sedekah, wuah, ini mah namanya ANUGERAH. Sebab apa? Anugerah itu adalah sebaliknya; kita bisa deket sama Allah, kita bisa inget sama Allah. Saudara karirnya naik, tapi ada kemunduran spiritual; shalat dhuhanya jadi hilang, shalat berjamaah jadi hilang, Saudara malah serakah, sombong, tidak menginjak bumi... ini yang harus kita kenali sebagai "sedang bermasalah". Namun sebaliknya, adalah anugerah. Saudara di-PHK. Tapi dengan diPHK kemudian menjadi saleh, menjadi deket lagi sama anak istri, sama suami, sama orang tua, tambah tawadhu', insya Allah inilah anugerah.

Seseorang yang bercerai, belum tentu disebut bermasalah. Sebab ukurannya sudah beda. Jika sebelumnya "bercerai"nya itu yang disebut masalahnya, trnyata sekarang bukan. Yakni, perjalanan sebelum cerainya itulah yang disebut masalah. Kalau dia mau mengubah "masalah" nya itu jadi anugerah, gampang. Bisa seketika koq. Yakni pindah jalur saja; dari jauh dan lupa sama Allah, menjadi deket dan ingat sama Allah.

Perlakukan juga dua kriteria ini; jauh dan deket sama Allah, di urusan-urusan yang saudara anggap masalah. Maka saudara akan tercengang sendiri, iya ya, mudah bener mengubah dari masalah menjadi anugerah. Keajaiban perubahan suasana hati juga akan segera didapat. Coba saja saudara pikirkan misalnya soal hutang. Benarkah hutang itulah masalah Anda? Bukan soal iman, soal tauhid, soal amal saleh, soal islam, soal syukur Saudara? Coba saja lihat-lihat ke belakang hidup Saudara sebelumnya berhutang. Coba lagi pikirin soal penyakit, soal jodoh, soal anak, dan soal-soal yang lain yang sedang saudara hadapi.

Buat yang tidak sedang menghadapi masalah apapun, dan dia merasa "aman-aman" saja, coba juga pakai 2 ukuran ini; jauh dan deketnya dengan Allah, inget dan lalainya dari Allah. Jangan-jangan sebenernya kehidupan Saudara sedang diincer sama Allah. Mari kita sama-sama mengoreksi. Insya Allah kita akan ketemu bahwa Allah benar-benar Maha Pemurah, Maha Sayang, Maha Baik sama kita. Subhaanallaah.

No comments:

Post a Comment