Modul Kuliah : Kuliah
Dasar Wisatahati / KDW-01
Materi Modul : Kuliah
Tauhid
Judul Materi : Hadirkan
Allah Dalam Kehidupan
Seri Materi : Seri 27
dari 41 seri/esai
File Paper: Ada
File Audio Tidak
File Video: Tidak
Tugas: Tidak
Hadirkan Allah Dalam Kehidupan
Tidak sedikit manusia yang dis-orientasi dalam hidupnya. Kosong,
kering, gersang. Tanpa makna. Karena hidup tanpa Allah.
Tulisan ke depan akan menyoroti bagaimana hidup dengan
berpolakan tauhid.
Termasuk perkara tauhid adalah menyandarkan semua urusan
kepada Allah sahaja. Banyak orang berikhtiar, berikhtiar saja. Dia tidak
melibatkan Allah. Sejalan-jalannya.
Betul memang dunia ini sudah dibuat-Nya berjalan dengan
sunnatullaah-Nya. Sesiapa yang bekerja, maka dia gajian. Sesiapa yang belajar,
maka ia mendapatkan ilmunya. Sesiapa yang berusaha, berniaga, maka ia
mendapatkan keuntungan. Sesiapa yang berobat, maka ia temukan kesembuhan.
Kira-kira begitulah ragam sunnatullah-Nya. Meskipun ada sebaliknya yang juga
merupakan sunnatullaah-Nya juga. Maka, sesiapa yang melibatkan Allah, maka di
dalam ikhtiarnya, ada Allah. Dan Allah, berarti ibadah dan keberkahan. Ikhtiarnya
menjadi ibadah dan mengandung keberkahan. Sungguhpun ia tiada hasil.
Kelak akan ada juga pertanyaan, kedudukan ikhtiar di mana?
Kedudukan ikhtiar adalah menjadi ibadah, manakala kita kemudian sudah secara
hati dan pola hidup bertauhid. Tapi kemudian ikhtiar menjadi salah apabila
secara hati dan pola hidup tidak bertauhid. Dan kelak juga kita akan belajar
banyak kesia-siaan akhirnya terjadi sabab salah langkah menuju manusia, bukan
menuju Allah.
Contoh, seseorang yang kepengen kerja. Ia lalu melayangkan
surat lamaran pekerjaan tanpa mengucap basmalah, tanpa shalat dan doa terlebih
dahulu, tanpa bersedekah di awal, bisa jadi, sesuai sunnatullah-Nya, ia
mendapatkan pekerjaan itu. Misalkan sebab ia memang lulusan terbaik, banyak
skilnya, bagus, multi-talent, dan punya performa yang mengagumkan. Namun,
sebatas mendapatkan pekerjaan itu. Tidak mendapatkan Allah. Dan ini berarti
tidak menjadi ibadah dan tidak menjadi keberkahan baginya. Seseorang yang
sakit. Ia cari kesembuhan dengan berobat. Lalu ia bener-bener sembuh. Padahal
ia tidak berdoa, keluarganya tidak shalat dan berdoa, tiada pengajian-pengajian
yang digelar, tiada ibadah dah pokoknya, wes berobat ya berobat. Bahkan tanpa
basmalah. Ini memang juga sunnatullah-Nya. Dan yang demikian ini berlaku juga
buat mereka yang bahkan tidak ber-Tuhan sekalipun. Barangkali ia ketemu dokter
yang tepat, ketemu obat yang berkesesuaian. Tapi sakitnya ini ga menjadi rahmat
buatnya. Dengan sakitnya ia tiada ada menambah kedekatan diri dengan Allah.
Seorang yang berhutang, tapi ia penuh semangat. Ia tidak mau
kehilangan motivasi hidup hanya lantaran hutang. Ia bangun spirit hidupnya. Ia
bangun motivasi dirinya. Kemudian ia ikhtiar, subhaanallaah, secara dunia, ia
bisa menjadi the winner, pemenang. Hutangnya bisa saja ia tundukkan. Sayangnya,
ia tidak memulai segala ikhtiarnya dengan bismillah. Ibadah tiada ia tegakkan.
Allah ia tidak percayai, bahkan barangkali ia malah menyalahkan gara-gara Allah
nih ia berhutang. Bisa saja hal ini terjadi. Nah, terhadap yang begini, ikhtiarnya
dan permasalahannya, tidak membawa nilai ibadah dan keberkahan. Biasa saja.
Tentu saja, tidak ada jaminan juga bahwa Anda-Anda yang
ber-Tuhan Allah, lalu begitu saja mendapatkan kemudahan. Ya sama saja. Ikhtiar,
proses, ya perlu dilakukan dan dilalui. Namun buat mereka-mereka yang
melibatkan Allah, maka sebelum lagi semua pekerjaannya itu menghasilkan, ia
sudah menang duluan. Dari kali langkah yang pertama, semua sudah menjadi
ibadah. Dan seluruh tahapannya mengandung keberkahan. Masya Allah.
Bedanya di mana? Barangkali di nilai.
Dan tentu saja, tidak ada juga yang sudah melibatkan Allah
dan menyempurnakan ikhtiar, lalu hasilnya malah sama dengan yang tidak
melibatkan Allah, dan yang tidak menyempurnakan ikhtiar. Hasilnya pasti beda.
Bahkan saya mau cerita di edisi ini, dengan sedekit mengubah
pola ikhtiar kita, yakni dengan melibatkan Allah, maka hasilnya akan masya
Allah. Beda sekali. Baik dalam kecepatannya, dalam hasilnya, dan dalam
prosesnya. Semuanya akan diberikan Allah kenikmatan.
Tentu sebagai seorang hamba Allah, kita tidak kepengen
apa-apa yang kita lakukan tidak memiliki nilai di mata Allah. Sebab kita akan
kembali kepada Allah. Kita kepengen semua apa yang kita lakukan menjadi ibadah
dari kita kepada-Nya yang penuh dengan keberkahan.
Istilahnya, kalau kita cuma kerja sebagai pegawai biasa, ya
pasti kita gajian. Cuma kita kepengen beda. Kita baca bismillah di setiap kita
mau mulai beraktifitas. Bahkan kita mendahului seluruh gerakan ibadah dengan
mengawali shalat tahajjud dan dhuha. Kita pun mengakhiri seluruh aktifitas kita
dengan mengucap hamdalah, dan bahkan menutup malam menjelang tidur dengan
membaca aya-ayat al Qur'an, zikir sebelum tidur dan shalat dua rakaat. Kita pun
kepengen berbeda dengan karyawan biasa. Di mana kita menganggap majikan kita
bukanlah manusia. Tapi Allah. Sehingga ketika azan baru saja akan datang (belum
datang), kita sudah bergegas bersiap-siap. Ketika akhirnya azan datang, kita
sudah menghentikan segala aktifitas keduniaan kita dan sudah siaga di atas sajadah
dalam keadaan berwudhu. Kita pun kemudian beda di hasil. Ketika karyawan yang
lain begitu gajian dia lupa diri dan foya-foya, atau sekedar membeli hajat
keperluan hidup dan rumah tangga, kita beda. Kita jalan dulu memberi kanan dan
kiri kita sebelum akhirnya kita sampai ke rumah. Kita sisihkan sebahagian rizki
kita sebelum lagi uang itu habis. Yang lain, nunggu uang itu habis. Kita,
mencoba mendahulukan hak Allah. Masya Allah.
Bila kita bisa seperti ini, maka inilah sebahagian yang
disebut berhidup berkah. Punya tauhid. Punya Allah. Beda hidup antara yang
memiliki Allah dan yang tidak. Ada orientasi. Dan setinggi-tingginya orientasi
adalah ke Allah, menuju Allah. Dan hasilnya pun jelas akan beda. Enak dimakan,
begitu kata orang tua mah. Dimakan, jadi daging. Dibelikan sesuatu itu uang,
mesti jadi sesuatu yang bermanfaat dan bisa dinikmati.
Beda sekali bila kita melupakan Allah. Katakanlah, kita
bertaruh 16 jam sehari untuk dunianya Allah, tapi tiada menyisihkan untuk-Nya
sedikit waktu dan perhatian kita untukNya. Apa yang terjadi? Bisa jadi Allah
malah membuat kita melupakan diri kita sendiri. Kita tiada sempat menikmati,
sebab Allah bikin kita bener-bener lupa sama diri kita. Badan dibawa lemburnya
enak, dibawa kerja kerasnya enak, dibawa gigihnya enak. Disangka kita yang
sedang berada di puncak-puncak kejayaan, ga tahunya Allah hilangkan rasa
kepenatan untuk menambah kitya bener-bener kaya dan jaya. Namun kemudian ketika
kita mau menikmati, badan kita sudah pada sakit semua. Sadar-sadar keluarga pun
sudah tidak berada di sisi kita. Istri kita diambil laki-laki lain yang lebih
perhatian. Anak-anak kita pun berayah baru yang lebih sayang. Edannya, kita
anggap itu semua fine-fine aja. Ga masalah. Malah kita umumkan kepada dunia
bahwa keluarga kita ga mengerti kita!
Ada satu masa saya dapat kisah seeorang yang berumah lebih
dari 5, namun ia sewa di salah satu apartemen di kawasan Casablanca. Dan 5
rumah mewahnya itu pun tiada ia sewakan karena ga mau rusak. Ia jaga
propertinya seperti telur emas. Buat saya, ini mah malah keanehan. Saya tidak
mau seperti itu.
Ada yang bilang, o-o-o, itu syirik, tanda tidak mampu. He he
he, barangkali ada benernya. Cuma, ya buat apalah. Buat apa punya 5 rumah
mewah, tapi kitanya malah ngontrak! Ya buat apa?
Kalaupun skenarionya seperti itu, maksudnya, bila saya punya
kesempatan merengkuh dunia, ya insya Allah akan kita injek terus itu dunia.
Sehingga kemudian saya bisa membeli rumah kedua, rumah ketiga, rumah ke-empat,
rumah kelima. Kemudian bila kenyataannya saya menyewa rumah orang lain untuk
saya tempati, itu lebih dikarenakan saya sewakan itu rumah. Hasilnya, saya
sewakan untuk Allah. Untuk masjid, untuk pesantren, untuk perguliran ekonomi
kerakyatan, dan lain-lain hal yang manfaat.
Saya katakan kepada kawan-kawan yang berkesempatan merengkuh
dunia. Rengkuhlah dunia. Peganglah ia. Burulah ia. Tapi jangan biarkan ia
memegang kendali atas kita! Jangan sekali-kali. Kalau ada yang bisa memegang
lebih dari sepuluh proyek, kenapa engga? Itu kan kesempatan dari Allah. Tapi
kalau kemudian di proyek pertama saja shalat wajib kita udah kedodoran, shalat
sunnah kita banyak lewatnya, puasa-puasa sunnah semakin berat, shalat Jum'at
saja sering telatnya, sama al Qur'an jauh, sama anak istri jauh, ya mending
stop di proyek pertama itu. Sebelum akhirnya kita ga bisa menikmati apa-apa!
Ada satu cerita. Ada satu orang kaya yang kaya raya, namun
ia merasa gelisah. Semula ia tidak tahu apa yang salah dalam hidupnya. Ia punya
segala-galanya. Tapi kemudian ia tersadarkan satu hal. Dalam satu kesempatan,
ia memaksa kawannya untuk menemaninya. Begitu kawannya ini datang, kawannya ini
ia lihat berdoa sebelum tidur. Ia basuh mukanya, ia basuh wajahnya. Berwudhu.
Pagi-pagi yang belum wayahnya orang bangun, ia bangun. Ia shalat malam! Weh,
pemandangan yang buatnya aneh. Apalagi malam itu malam libur. Dan banyak lagi
keanehan-keanehan lain menurut si orang kaya ini. Hingga setelah 2 hari,
kawannya ini pulang. Si kaya ini berterima kasih kepada kawannya ini yang sudah
menemaninya, dalam tawa dan aktifitas. Dan si kaya ini meminta si kawan ini
menemaninya, satu hari saja lagi.
Dengan senyumnya, kawan yang satu ini berkata, "Maaf,
saya harus pulang. Saya hanya meminta izin 2 hari untuk menemani Anda. Sekarang
saya pulang. Saya punya keluarga yang menanti saya!"
Ucapan sederhana ini ternyata makna nya dalam sekali bagi si
kaya ini. Satu yang tidak ia punya adalah keluarga! Bahkan ia tidak punya
Allah. Ia merasa sudah lengkap semua hidupnya, maka nya ia bingung mau berdoa
apa? Ya, ia tidak punya Allah. Dan ia pun menangis.
Saudara-saudaraku, hidup itu indah loh. Cobalah janjian sama
anak2 dan istri (atau suami), untuk sama-sama bangun lebih awal. Untuk
sama-sama membaca al Qur'an, dan mengkaji barang satu dua hadits. Terus janjian
berangkat shubuh. Bayangkanlah saudara memakaikan sendal anak-anak saudara yang
masih kecil. Tapi bukan karena kepengen jalan-jalan. Melainkan kepengen menuju
masjid! Subhaaallaah! Kita betulkan kerudung anak2 kita, kita betulkan peci dan
kaennya anak2 kita. Masya Allah indah benar.
Pas pulang dari masjid, mampir ke ujung gang sebentar, beli
kue-kue-an, untuk dimakan bersama keluarga. Di tangan kanan anak-anak kita
memegang tas plastik kecil berisi al Qur'an. Istri kita tangannya berselendangkan
bukan emas permata melainkan mukena dan sajadah. Aduhai indahnya.
Di saat siang hari, kita sms pasangan kita: "Sedang
apa?" Allah menunggu kita loh. Sebentar lagi azan berkumandang. Ayo, kita
shalat bareng. Papah di sini, mamah di rumah ya". Manteb, kan? Kita sms
anak-anak kita juga: "Gimana, apakah sudah ada di tengah-tengah jamaah
zuhur? Alhamdulillah ya Papah bisa menyekolahkan kamu di sekolah islam.
Sehingga kita bisa jamaah bareng di tempat yang berbeda". Nah, beda kan?
Hidup ini kayaknya indaaaaah banget.
Yang begini ini kan ga mesti jadi keluarganya ustadz atau
kyai. Semuanya bisa melakukan ini.
Kamis, malam Jum'at, sudah pada ngumpul di rumah. Siap-siap
shalat. Semua jalan ke masjid. Habis maghrib, janjian di salah satu pojokan,
untuk sama-sama berkumpul antara si ayah dan si ibu, antara anak perempuan dan
anak lelakinya, untuk sama-sama baca Yaasiin. Si ayah udah pamit sama kantor,
khusus kamis, mau pulang sorean. Kenapa? Supaya bisa berjamaah maghrib! Masya
Allah! Ketika ditanya, koq bela-belain gitu? Ya terang kudu dibelain, sebab
kita udah ngasih sama Allah senen sampe kamis siang ini. Wajar kiranya khusus
Kamis, pengennya cuma ampe sore aja. Supaya jam 17 udah di rumah. "Kamis
malam ini kan takbiran!". Dijamin, lawan bicara kita bakalan bengong, he
he he.
Wes, pokoknya jadikan hidup ini beda dah. Jadikan ia lebih
bermakna, lebih berisi. Khususnya diisi dengan ibadah, dengan iman, dengan
tauhid.
Sebuah keluarga, manakala udah jarang berkumpul, ketika
dirasa rutinitas udah merenggut kekeluargaan, berusaha mengisinya dengan
jalan-jalan, makan-makan bareng, nah, coba dah sekali-kali dijadikan perjalanan
kebersamaan untuk mengisi ruhiyah masing-masing anggota keluarga.
Di tengah malam, sang ayah memimpin shalat malam di
pekarangan belakang rumah, beratapkan langit. Di belakang, anak-anak dan istri
menjadi makmumnya. Masya Allah, masya Allah.
Di akhir bulan, sang ayah udah janjian akan juga pulang
lebih cepat, agar bisa maen ke rumah-rumah yatim di sekitar rumah, dan kemudian
menengok nenek. Sekali lagi masya Allah, masya Allah!
Udah ya. Ntar terusin kuliah besok. Tentang ikhtiar yang
melibatkan Allah. Mudah-mudahan tulisan ini membawa banyak inspirasi buat
Saudara dalam memaknai dan mengubah pola hidup. Tulisan saat ini tadinya mau
langsung ngebut dengan menjelaskan bagaimana sebuah ikhtiar disebut berpolakan
tauhid. Yah, barangkali Allah lah yang menginginkan tulisan ini muncul. Suka
begini emang. Diniatkan nulis apa, ngajar apa, eh, yang ditulis dan diajar
beda. Mudah-mudahan juga ga ada yang keberatan. Saudara udah banyak ngalahnya
ya? He he he. Ini juga liburnya kebanyakan. Maafin saya ya. Tapi udah baca buku
"The Miracle" dan "Mencari Tuhan Yang Hilang" belum? Itu
kan "tugas" di kuliah kemaren yang karenanya saya jeda kuliahonline ini
barang sebentar. Dari beberapa imel dan sms, saya menyatakan alhamdulillah dan
terima kasih. Ada banyak yang kemudian membaca buku-buku itu. Ok, sampe ketemu
besok.
"Walaa takuunuu kal-ladziina nasullaaha fa-ansahum anfusahum.
U-laa-ika humul faasiquun, dan janganlah kamu menjadi orang-orang yang
melupakan Allah. Maka Allah menjadikan mereka melupakan diri mereka sendiri.
Mereka itulah orang-orang yang fasik."
(Qs. Al Hasyr: 19)
No comments:
Post a Comment